Luciatriedyana’s Weblog











{September 20, 2008}   Hello world!

Copy of n1370737157_30114500_7042

hiya!!!!!!!!!!!!!!!

this is myfirst greeting …..

thus; i just wanna introduce myself by this blog] ………

and …..

i’m so happy whether u wanna leave me ur comments 4 everything-anything myposts…it will be myspirit at all…

u can interrupt me n share ur argues  whether u can’t agree to me….

anyway,  feel so happy n proud get u visiting myblog….thanks….

]luv u dear



{October 18, 2009}   MEDIA DEMOCRACY IN AMERICA

For serving public interest, American press plays in democratic way. American press knows whether liberty and freedom of expressions is the important things to protect public interest (Patterson: 1990; Hachten: 2005). By civil liberties, America protects individuals’ rights. Freedom of expression is the most basic of democratic rights. Democracy requires a free flow of information. Communication enables a free people to keep in touch with another, with their leaders, and with important events. That American press plays a key role in democratic system. Early growth, media in United States, especially newspaper, media printed was a form of party propaganda. For surviving, media need support from party. So, it was not surprised whether in that era could be partisan press, publisher openly took sides of partisan issues. Moved to yellow journalism, reporting style changed to ‘trade’ and ‘sensational’ news. Yellow journalism emphasized of disasters, scandals, violence, sex, cruelty and sports. This journalism serves most only for private interest. Partisan press and yellow journalism doesn’t serves public interest as well yet. For full serving to public interest, media must be freedom, especially from political parties. Freedom press refers to open up to general public, opinions journals, public sphere and public space for media criticism. To protect the freedom in the U.S. media, government completed amendments to gives the press substantial protection and provide the news media with indirect economic support. For example Newspapers and Magazines have a special postal rate that helps them to keep their circulation cost low, and broadcasters pay only a few dollars annually in license fees. To be libertarian press could be watchdog and controlling the state. So, did public interest is finally full serving? I don’t know. Did media almost in freedom? I don’t know. As we known, press is freedom from government controlling, but I think they not yet in freedom from private interest. Not at all. Private media must have private and economic interest. Journalist not only works for public but they also work for media stake holders. Journalist independency is not in freedom at all. Serve for public based on private or economical gains for institutions and media industries. Journalist besides search and inform accurate, actual, and factual news, the news also must be ‘trade news’. Kovach, Bill and Tom Rosentiel (2003) explain a journalist must have independency and his loyalty concern to public interest. But economic interest turns the media industries being commercial which increasing competition in information and advertising marketplace for a public’s attention. At least, media as business about selling information, advertising, entertainment, etc. for stake holder’s profits. Thus, do not worry! U.S. media still concern about public interest as one way as concern private and economic interest. Try to conclude, democracy is not absolute. Not only about political views, have private / institution interested, but also economic interest. For protecting public interest, U.S. media gives place for public’s criticism. They gives place for share complains and opinions.

Democracy also draws on historical memory to challenge received assumptions, to highlight the contingent character of human history, and to appeal to the popular imagination.

While commemorating the terrorist attacks of September 11, 2001, Democracy also exposes corporate media’s penchant for historical amnesia. As it has done for the past six years, Democracy reminded listeners of the historical significance of that date in other parts of the world: the September 11, 1973 US-backed coup of Salvador Allende, the democratically-elected president of Chile; the September 11, 1977 arrest, detention and fatal beating of Steven Biko, founder of the black consciousness movement in South Africa; and the September 11, 1990 murder of American anthropologist Myrna Mack by Guateleman security forces trained and supported by the United States. In this way, Democracy challenges the notion of “American exceptionalism” cultivated by the corporate media in the aftermath of 9/11 – and exploited with unnerving success by the Bush Administration to legitimate its assault on civil liberties at home and to justify its imperial ambitions abroad. Further, by placing the terrorist attacks on the United States in historical context, Democracy acknowledges the cultural significance of public memory in forging national identities and shaping collective destinies: for good or ill (Howley, Kevin: 2008).

American media influenced public life. Whatever it takes, public can’t life without media. They need information and consume the media in their daily.  Especially in this era, which transformation of technologies growing so fast, media business going profitable and prestigious. Democracy provides freedom and independency, always supported American media to growing up as far as possible. Today, American media still grows. For absolutely, liberties media in America have influenced to others countries included Indonesia (in many ways), for example Asian American press like “The New York Times”. American media  American media may be predicted will control all media in this world by globalization. American media ownership and consolidation are amazing and frightening. I can’t disagree whether the most biggest and popular media industries in this world well known as American, for example media corporations at Time Warner, Viacom, News Corporation, Disney, and Bertelsmann.



CULTURE SHOCK YANG DIALAMI MAHASISWA PERANTAUAN FISIP UAJY ANGKATAN 2008 DAN PENGARUHNYA TERHADAP MOTIVASI KULIAH

Disusun oleh :

Lucia Tri Ediana P.J.                 (03568)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ATMA JAYA

YOGYAKARTA

2009

BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Culture shock merupakan fenomena yang akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Littlejohn, dalam jurnal yang ditulisnya, meyatakan bahwa culture shock adalah fenomena yang wajar ketika orang bertamu atau mengunjungi budaya yang baru. Orang yang mengalami culture shock berada dalam kondisi tidak nyaman baik secara fisik maupun emosional.

Sebuah jurnal menceritakan seorang siswa yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah dan hendak melanjutkan ke universitas, untuk pertama dia akan bangga dan mempersiapkan dirinya untuk memnghadap lingkungan kuliah yang baru. Dia akan mempersiakan dirinya untuk bertemu dengan orang-orang baru, antusiasme untuk belajar agar menuai kesuksesan dalam lingkungannya yang baru. Namun, pada akhirnya siswa tersebut, terhadap lingkungan barunya mengalamai ketidaknyamanan hingga membuatnya tidak lagi ingin melanjutkan kuliahnya (Balmer, 2009). Dari jurnal ilmiah ini bisa disimpulkan bahwa setiap siswa menjadi wajar jika mengalami culture shock sebagai akibat perpindahannya dari lingkungan sekolah menengah yang lama ke lingkungan universitas yang baru. Kebiasaan-kebiasaan di lingkungan baru, seperti yang diungkapkan Balmer, dapat menyebabkan tekanan dan berakibat pada kompetensi akademik siswa tersebut. Akan menjadi negative kalau culture shock tersebut tidak teratasi, dalam hali ini orang gagal untuk meyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya, dan menjadi depresi (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Dalam hal ini si siswa menjadi depresi dan tidak ingin masuk kuliah lagi.

Berdasarkan jurnal penelitian yang telah disebutkan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa setiap mahasiswa akan mengalami culture shock dalam tahun pertama mahasiswa itu pindah dalam lingkungan universitas yang baru, seiring dengan usaha mahasiswa tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu. Dalam salah satu jurnal disebutkan bahwa culture shock yang dialami oleh siswa dapat mempengaruhi proses akademik yang ditempuh siswa tersebut. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk mengetahui dan membuktikan apakah mahasiwa FISIP UAJY angkatan 2008 juga mengalami culture shock dan apakah keadaan tersebut mempengaruhi motivasi belajar mereka. Lebih spesifik lagi, mahasiswa FISIP UAJY angkatan 2008 berasal dari berbagai daerah luar Jogja. Peneliti menganggap potensi culture shock yang akan dialami mahasiswa luar Jogja tersebut lebih besar dan lebih mudah diamati. Oleh karena itu lingkup penelitian dipersempit untuk mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Jogja.

  1. RUMUSAN MASALAH

a)      Apakah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 mengalami culture shock? Seperti apakah bentuk culture yang telah mereka alami?

b)      Apakah kondisi culture shock tersebut mempengaruhi motivasi kuliah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008? Seperti apakah pengaruhnya?

c)      Apakah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 telah mampu beradaptasi terhadap lingkungan baru mereka? Bagaimana motivasi kuliah mahasiswa-mahasiswa tersebut setelah mampu beradaptasi?

  1. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis fenomena culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 dan pengaruh fenomena tersebut terhadap motivasi belajar mahasiswa.

  1. MANFAAT PENELITIAN

a)      Secara praksis dapat dijadikan panduan atau bahan bacaan oleh mahasiswa baru yang akan berpindah dari lingkungan sekolah menengah yang lama ke lingkungan universitas yang baru.

b)      Secara akademis dapat menjadi penelitian awal yang dapat dikembangkan oleh peneliti selanjutnya.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ culture shock (Mulyana, 2006; Littlejohn, 2004).

Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali di lingkungan baru, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa disekelilingnya begitu berbeda dengan lingkungan lamanya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah berubah. Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Maka, .ketika seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi (Mulyana, 2006).

Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan social. Misalnya kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana kita memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak dan menerima undangan, dsb. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotip dengan cara negatif (Mulyana, 2006).

Sojourneys dan Settlers

Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler).  Seperti yang dikatakan oleh Bochner: karena respek mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbweda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada daalm proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourneys berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, antara turis dalam sehari, sampai mahasiswa dalam beberapa tahun (Samovar, 2000).

Definisi Culture Shock

Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambing dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Mulyana, 2008).

Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb.

Reaksi pada culture shock

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Reasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain:

  1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
  2. rasa kehilangan arah
  3. rasa penolakan
  4. gangguan lambung dan sakit kepala
  5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
  6. rindu pada teman dan keluarga
  7. merasa kehilangan status dan pengaruh
  8. menarik diri
  9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka

Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)

Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar, (2000) menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.

Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru

Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.

Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum, makan dan tidur yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman.

Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang berhasi menyesuaikan diri dengan lingkunagan barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahap pertama yang disebut tahap ‘bulan madu’ berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6 bulan dimana kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih bersemangat dan beritikad baik dalam menjalin persahabatan antarbangsa. Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri. Misalnya kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi, adat-istidatnya, dan orang-orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke kesembuhan dengan bersikap positif terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai salah penduduk pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai menanggulanginya, “ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya”. Pada tahap keempat, penyesuaian diri hampir lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul dalam lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada ketegangan sosial yang nantinya seiring dalam pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang ke kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan dirindukan.

Menanggulangi Culture Shock

Beberapa cara yang ditawarkan untuk menanggulangi culture shock, antara lain:

  1. berteman dengan orang-orang dari budaya baru, dan dengan sesame pendatang.
  2. belajar mengenai budaya baru, hal ini bias dilakukan sebagai antisipasi cultureshock, misalnya dengan mempelajari komunikasi lintas budaya, dan mempelajari bahasa-bahasa asing.
  3. lebih sabar, dengan mengingat bahwa akan ada tahappenyesuaian, dan saat-saat krisis akan segera berlalu.
  4. ambil bagian dalam kegiatan kultural, pengalaman adalah guru yang paling berharga. Deengan berpartisipasi, kita dapat belajar banyak tentang kebudayaan tersebut.

Gegar budaya adalah fenomena yang alamiah. Intesitasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor, baik internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan) maupun eksternal (kerumitas budaya baru atau lingkungan baru yang dimasuki). Gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal untuk mengembangkan keprbadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri.

BAB III

METODE PENELITIAN

  1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelian kuantitatif yaitu penelitian yang berusaha mencari hubungan antara dua variable dan menggunakan data statistic dalam menjawab pertanyaan penelitian (Dorsten and Hotchkiss, 2004). Hubungan variable yang ingin diketahui adalah pengaruh culture shock terhadap motivasi belajar mahasiswa. Sementara data yang ada akan diekspresikan secara stastistic untuk mengetahui tingkat presentase culture shock yang dialami oleh mahasiswa. Peneliti bertindak sebagai pengamat yang hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala dan mencatatnya dalam buku observasi. Data atau informasi yang didapat akan diolah dan ditranskip untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dikarenakan sebagian kebenaran yang akan diteliti mungkin hanya bisa diperoleh secara probabilistic, realitas yang ada adalah realitas objektif, sebagai realitas yang berada di luar diri peneliti. Dengan demikian, untuk sebagian observasi dan pengumpulan data, peneliti akan mengambil jarak dengan objek yang ditelitinya.

  1. Sumber Data

Responden yang dipilih adalah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008. Sample data diambil secara acak atau random. Selain itu peneliti dalam mengumpulkan data juga melakukan studi pustaka baik dari media cetak maupun dari internet.

  1. Teknik Pengumpulan data

a)      Survei lapangan dengan kuesioner sebagai alat bantu.

b)      Studi pustaka dilakukan untuk menunjang pengumpulan informasi atau data untuk menjawab masalah-masalah yang sudah dirumuskan. Di samping itu studi pustaka juga dilakukan untuk mendapatkan kerangka dasar teoritis dalam penelitian.

  1. Teknik analisis

Teknik analisi data melalui pengkategorisasian data yang telah ditranskip untuk kemudian dilakukan juga reduksi data. Data diperoleh adalah data kuantitatif. Data-data tersebut dianalisis berdasarkan kerangka teori yang ada untuk memperoleh kesimpulan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sebagian besar mahasiswa mengaku mengalami fase optimistic baik yang mengalami culture shock maupun yang tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. 16 orang responden merasakannya. Fase ini adalah fase di mana mahasiswa merasa senang dan tertantang ketika pertama kali pindah ke Jogja. 12 orang merasa biasa saja sementara seorang lagi merasa sedih dan tertekan. Seorang yang merasa sedih dan tertekan tersebut sebenarnya telah mengalami masalah kultural dalam culture shock.

Dari 30 sampling mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 yang dipilih secara random atau acak diperoleh data :

Variable

Jumlah

Mengalami culture shock 25
Tidak mengalami culture shock 5
Total 30
Presentase pengalaman culture shock : 83,33%

Bisa disimpulkan sebagian besar mahasiwa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 (lebih dari 80%) mengalami culture shock pindah ke Jogja. Sementara, setelah peneliti menganalisis data lebih jauh, ternyata 16,67% mahasiswa yang menyatakan tidak mengalami culture shock dalam bentuk apapun, semuanya berasal dari daerah Jawa Tengah, daerah yang terletak di dekat Jogja dan budayanya tidak berbeda jauh dengan budaya di Jogja. Hal ini menunjukan bahwa semakin mirip dan dekat budaya antara budaya asal dengan budaya baru maka kemungkinan terjadinya culture shock pun semakin kecil.

Bentuk culture shock yang dialami oleh 83, 33% (24 mahasiswa) mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 :

Bentuk Culture Shock yang Dialami

Jumlah Respoden

Merasa tidak nyaman dan tidak betah tinggal di Jogja 7 orang
Mengalami kebingungan dan ketidaktahuan ingin berbuat apa di Jogja 9 orang
Kesulitan bergaul dan mencari teman 9 orang
Tertekan dan stress hingga sakit 5 orang
Ingin pergi meninggalkan Jogja 9 orang
Kehilangan jati diri/ merasa bukan siapa-siapa 5 orang
Merasa orang Jogja sangat tidak meyenangkan 3 orang
Mengurung diri dari lingkungan 6 orang
Bermasalah dengan makanan dan pola makanan di Jogja 10 orang

Bentuk-bentuk permasalahan di atas merupakan kondisi seseorang yang mengalami culture shock ketika berpindah ke lingkungan dengan budaya baru. Seseorang mungkin mengalami lebih dari satu dari masalah tersebut di atas bahkan mungkin dapat mengalami kesemua bentuk permasalahan akibat culture shock di atas. Permasalahan yang timbul akibat culture shock tersebut tidak hanya bersifat emosional namun juga segi pisik yang dapat menyebabkan apakah seseorang itu mengalami gangguan makan dan sakit. Lebih lanjut lagi, peneliti ingin mengetahui pengaruhnya terhadap motivasi belajar mahasiswa.

Berkaitan dengan 4 tahapan culture shock yang telah diuraikan dalam kajian pustaka, masalah-masalah tersebut di atas adalah masalah-masalah yang dialami mahasiswa ketika dalam fase masalah kultural.

Dari 83,33% yang mengalami culture shock diperoleh data :

Variable

Jumlah

Terganggu motivasi belajarnya 13
Tidak terganggu sama sekali 12
Total 25
Presentase yang terganggu motivasi belajar :

52%

Melalui data ini peneliti menyimpulkan bahwa culture shock relative berpengaruh terhadap motivasi belajar mahasiswa. 52% mahasiswa terganggu motivasi belajarnya akibat culture shock sementara yang lain tidak berpengaruh. Culture shock bisa dikatakan berpengaruh terhadap terganggunya motivasi belajar mahasiwa namun effektifitasnya tidak besar. Hasil penelitian menunjukan persentase yang hampir fifti-fifti. Setengah sample dari populasi yang diamati mengaku terganggu motivasi belajarnya karena mengalami culture shock sementara setengahnya tidak. Namun, untuk dijadikan catatan, 12 orang yang mengaku tidak terganggu motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi dengan budaya di Jogja. Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya dengan udaya baru di Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan.

Gangguan terhadap motivasi belajar atau kuliah yang dialami mahasiswa (sekitar 53%)diantaranya adalah :

  1. Malas datang kuliah
  2. Bolos kuliah
  3. Tidak bisa konsentrasi ketika kuliah
  4. Merasa tidak nyaman ikut kuliah dan ingin berhenti kuliah
  5. Nilai atau IP kuliah jeblok

Dari 83,33% yang mengalami culture shock diperoleh data :

Variable

Jumlah

Mampu beradaptasi 23
Belum mampu beradaptasi 2
Total 25
Presentase yang mampu beradaptasi: 92%

Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah. Di sinilah mereka mengalami fase penyesuaian setelah sebelumya mengalami fase recovery. 92% mahasiswa dari mahasiswa yang mengalami culture shock sadar bahwa mereka harus menerima budaya baru di Jogja jika ingin meyelesaikan konflik masalah cultural yang terjadi, apalagi masalah cultural tersebut telah mengganggu motivasi kuliah mereka. Di tahap ini mereka masih berupa kesadaran dan keinginan untuk beradaptasi dan disebut fase recovery. Setelah mereka berhasil beradabtasi, artinya mereka tindak lagi merasa tidak nyaman dan tidak lagi mengalami masalah kultural, di sinilah fase adabtasi telah berhasil mereka lakukan. Sementara 8% (2 orang) dari mahasiswa yang mengalami culture shock yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan merasa tidak nyaman hidup di Jogja. Mereka mengaku memilih menghindar dari masalah-masalah kultural yang dialaminya. Hal ini berarti, jika orang ingin hidup nyaman dan berhasil di lingkungan yang baru maka mau tidak mau ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru tersebut. Ada pepatah mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk komunikasi yang lancar dan effektif perlu adanya usaha untuk menghargai dan memahami serta menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal di budaya itu.

Namun, yang jelas, dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ada 2 jenis manajemen konflik yang dilakukan mahasiswa yaitu beradaptasi dengan menerima dan memahami budaya di Jogja sedangkan yang satunya lagi menghindar. Dengan beradabtasi dan meyesuaikan diri dengan budaya di Jogja mahasiswa merasa lebih nyaman tinggal di Jogja dan permasalahan motivasi kuliah yang terjadi terselesaikan, sementara usaha menghindar justru tidak membuat persoalan lebih baik bahkan tampak buruk. Sekali lagi, untuk terjalinnya komunikasi yang effektif dan lancar kita harus menerima dan meyesuaikan diri dengan budaya tempat kita berada. Menghargai dan menerima segala keanekaan/ keheterogenan budaya yang ada mempermusdah kita beradabtasi dengan budaya yang baru yang akan memperlancar komunikasi yang terjadi, dan komunikasi itu berlangsung secara nyaman.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Untuk memperinci dan memperjelas hasil yang didapat dari penelitian ini, kesimpulan akan dibuat dalam bentuk pointer.

  1. Sebagian besar mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 megalami fase optimistic di mana mereka merasa senang dan tertantang ketika awal berpindah ke Jogja.
  2. Sebagian besar mahasiswa, sekitar 83,33%, mengalami culture shock. Mereka mengalami beberapa masalah kultural baik secara fisik maupun emosional. Dari perasaan tidak nyaman ringan hingga depresi. Dari pola makan yang tidak teratur hingga mengalami sakit.
  3. 16, 67 mahasiswa yang tidak mengalami masalah kultural (culture shock) yang berarti berasal dari daerah sekitar Jogja yang tidak terlalu berbeda budayanya dengan budaya di Jogja. Sehingga, dapat disimpulkan semakin mirip dan dekat budaya antara budaya asal dengan budaya baru maka kemungkinan terjadinya culture shock pun semakin kecil.
  4. Setengah sample dari populasi (52%) yang diamati mengaku terganggu motivasi belajarnya karena mengalami culture shock sementara setengahnya tidak. Data yang fifti-fifti menunjukan bahwa pengaruh terhadap motivasi belajar relatif tidak terlalu besar tetapi juga tidak kecil. Namun, untuk dijadikan catatan, 12 orang yang mengaku tidak terganggu motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi dengan budaya di Jogja. Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya dengan udaya baru di Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan.
  5. ganggua motivasi belajar/kuliah mahasiswa ada beberapa macam. Dari malas dan bolos kuliah hingga tidak ingin ikut kuliah lagi. Dari tidak bisa konsentrasi belajar hingga nilai atau IP jeblok.
  6. Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah. Sementara 8% (2 orang) yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan merasa tidak nyaman hidup di Jogja.
  7. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ada 2 jenis manajemen konflik yang dilakukan mahasiswa yaitu beradaptasi dengan menerima dan memahami budaya di Jogja sedangkan yang satunya lagi menghindar. Dengan beradabtasi dan meyesuaikan diri dengan budaya di Jogja mahasiswa merasa lebih nyaman tinggal di Jogja dan permasalahan motivasi kuliah yang terjadi terselesaikan, sementara usaha menghindar justru tidak membuat persoalan lebih baik bahkan tampak buruk.
  8. Ada pepatah mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk komunikasi yang lancar dan effektif perlu adanya usaha untuk menghargai dan memahami serta menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal di budaya itu. Jika orang ingin hidup nyaman dan berhasil di lingkungan yang baru maka mau tidak mau ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru tersebut.

SARAN

Dikarenakan waktu penelitian yang terlalu singkat, jumlah data yang berhasil diperoleh masih sedikit. Terlebih lagi, banyak data dari responden yang menjawab kuesioner terkesan main-main atau kurang serius dalam menjawabnya menjadikan penelitian ini jauh dari sempurna. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang atau penelitian lanjutan untuk memperbaiki dan melengkapi penelitian ini. Variable dalam penelitian ini dapat diganti maupun ditambah. Atas kekurangan dan kelemahan penelitian ini, peneliti mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA

Dorsten, Linda E. and Lawrence Hotchkiss. 2004. Research Methods and Society.

Foundations of Social Inquiry. USA: Pearson Prentice Hall.

Mulyana, Deddy.2006. Komunikasi AntarBudaya. Paduan Berkomunikasi dengan

Orang- Orang Berbeda Budaya. Bandung : Rosda.

Mulyana, Deddy.2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar Edisi Revisi.

Bandung : Rosda.

Samovar, Larry A. & Richard E. Porter. 2000. Intercultural Communication A

Reader, Ninth Edition. Belmont : Wadsworth.

Balmer, Starr. 2009. Experiencing Culture Shock in College. Participation Helps Students Adapt to an Unfamiliar Lifestyle.

(http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_culture_shock )

Littlejohn, Simone. 2004. Culture shock management: when you move to a new place, you are likely to experience a certain degree of culture shock. Though it can be very difficult for some, it is a worthwhile experience.

Publication in Swiss News

(http://www.thefreelibrary.com/Culture+shock+management%3a+when+you+move+to+a+new+place%2c+you+are…-a0119267612)

Kingsley Richard S. and J. Oni Dakhari. 2006. Culture Shock.

(http://kidshealth.org/PageManager.jsp?dn=studenthealthzone&lic=180&cat_id=20313&article_set=51180&ps=604 )



{August 21, 2009}   PENGGUSURAN DAN PANCASILA

Masalah yang Dibahas

Kasus penggusuran paksa pemukiman atau rumah-rumah penduduk serta kasus penggusuran paksa yang terjadi pada pedagang kaki lima seringkali tidak berkemanusiaan dan tidak adil.

Konteks Pancasila yang Dipermasalahkan

1)      Sila Pancasila yang Diangkat

  • Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
  • Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

2)      Pembukaan UUD’45 Alinea ke-4

Yang berisikan tujuan Negara untuk menyejahterakan dan menjaga keadilan sosial.

3)      Pasal 40 Undang Undang HAM nomor 39 tahun 1999

Pasal itu mengatur mengenai hak setiap orang untuk memiliki tempat tinggal yang layak

4)      Pasal 34 UUD’45

  1. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.
  2. negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat…..
  3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

5)      Pasal 28H UUD’45

  1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
  2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
  3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
  4. Setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

(UUD’45 dan Amandemennya, 2006)

Latar Belakang Masalah

Pancasila dan UUD’45 menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Dalam hal ini kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagai tujuan negara. Kesejahteraan adalah hak rakyat. Kenyataannya, tidak semua rakyat Indonesia sejahtera. Lalu, apakah kemiskinan yang terjadi di berbagai daerah di  Indonesia dapat menjadikan Indonesia sebagai negara gagal??(Tim Peneliti PSIK, 2008).

Manusia dan masyarakat tidak hidup hanya dengan perdamaian, melainkan juga dengan terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Papan, sebagai tempat berlindung menjadi kebutuhan hakiki manusia. Manusia menjadi makmur sekurang-kurangnya apabila ketiga kebutuhan tersebut terpenuhi. Pertanyaannya : Apakah kenyataannya semua warga Indonesia telah memperoleh kemakmuran??Masihkan terdapat kemelaratan di dalam negeri kita??Hal ini terkait dengan kehidupan ekonomi di mana pemerintah mengaturnya dengan menerapkan sisitem ekonomi yang ada. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya. Sistem ekonomi yang ada disusun dengan tujuan tersebut. Bukan hanya teorinya saja tetapi pelaksanaannya pun harus diawasi dan diatur sedemikian rupa agar tidak melenceng dari tujuan tadi. Harus ada keadilan sosial dalam kesejahteraan sosial. Keadilan sosial menjadi maslah di banyak tempat. Ada kesenjangan yang besar antara penduduk yang menikmati kekayaan dan kekuasaan, sementara penduduk lainnya menderita serba kekurangan. Biasanya ketidakadilan sosial itu bersifat struktual, artinya: merupakan kenyataan yang diakibatkan oleh struktur sosial-politik-ekonomi yang berlaku Namun, sebagai warga masyarakat, kita perlu sadar bahwa ekonomi akhirnya menjadi tanggung jawab kita bersama, sebab hal itu menyangkut kebutuhan kita sendiri. Karena itu, apapun sistem ekonomi yang dipilih oleh pemerintah, kita terpanggil untuk ikut mengusahakan kemakmuran, baik bagi keluarga kita sendiri, maupun bagi sesama warga masyarakat lain. Kemakmuran tidak dapat diharapkan dari pemerintah semata-mata. Pemerintah lebih layak dilihat sebagai pelengkap usaha warga masayarakat sendiri. Pemerintah mengatur hal-hal yang belum dapat ditangani oleh warga masyarakat sendiri. Sebagai individu kita mau berusaha mencukupi kebutuhan dengan kemampuan dan jerih payah sendiri, sebagai makhluk sosial kita ikut memperhatikan pula kebutuhan sesama, terutama yang menderita kekurangan dalam hal-hal yang paling mendasar (Hadiwardoyo, 1990: 74-89).

Kita coba mengkaitakannya dengan sisi kemanusiaan. Di mana ada belas kasihan untuk menolong orang-orang yang bermasalah dan berkekurangan. Untuk mewujudkan negara yang adil dan sejahtera akan sangat penting jika pemikiran-pemikiran tentang kemanusiaan ditumbuhkembangkan. Humanitarianisme lahir karena kemiskinan dan konflik yang melanda masyarakat, sedang tujuannya adalah pembangunan dan perdamaian dengan prinsip-prinsip kemanuasiaan. Kita tentu berharap pembangunan yang dideklarasikan menampilkan wajah kemakmuran. Karena berbagai ketimpangan yang terjadi di negeri ini cukup menunjukkan degradasi komitmen keadilan sosial dalam proses pembangunan. (Masruri, 2005:183).

Berbicara soal kasus penggusuran paksa yang terjadi, tentu saja, dalam pelaksanaannya sudah ada prosedure yang jelas dan sah dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Namun, pertanyaannya adalah : Sudah sejahterakah semua pihak?Sudah adilkah bagi semua pihak?Karena terus terang, definisi ’adil’ itu sangat relatif. Benarkah keadilan yang diterapkan pemerintah itu menyejahterakan? Benarkah pembangunan selalu ditujukan bagi kesejahteraan rakyat? Sering kali, berdasarkan studi kasus yang telah kami lakukan, kami menemukan kasus pengusuran paksa yang terjadi lebih banyak melanda kaum miskin. Untuk penataan kota yang diharapkan lebih tertata rapi dan tertib, area pemungkiman kumuh dan liar digusur aparat. Contohnya kasus-kasus penggusuran daerah kumuh di sekitar TPS yang terjadi di Jakarta. Namun, yang jadi masalah di sini adalah, biasanya, tidak ada kompensasi yang cukup atau memadai yang diberikan pada korban atau warga yang rumahnya terkena penggusuran. Tidak disediakannya tempat tinggal baru yang lebih layak huni sebagai upaya pemerintah untuk meyejahterakan rakyatnya. Nah, yang dipertanyakan di sini : Adakah sisi kemanusiaan dari kebijakan pemerintah ini? Apakah kebijakan pemerintah yang menggusur lahan atau tanah tersebut mempertimbangkan kesejahteraan masayarakat yang menjadi korban penggusuran? Lebih miris lagi kalau ternyata tanah atau arena hasil penggusuran itu oleh pemerintah malah dibuat proyek-proyek yang memihak pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Definisi penggusuran paksa

Penggusuran paksa (forced eviction) didefinisikan sebagai:

Pemindahan individu, keluarga dan/atau komunitas secara paksa (di luar kehendak)  dari rumah dan/atau tanah yang telah mereka tempati, untuk selamanya atau sementara, tanpa penyediaan atau akses pada prosedur hukum yang benar maupun perlindungan yang diperlukan.

Penggusuran paksa secara langsung melanggar hak tiap orang atas perumahan yang layak. Namun mengingat hak asasi manusia saling terkait, maka penggusuran paksa juga melanggar hak-hak lain, yang meliputi pula hak-hak sipil  dan politik.  Hak-hak tersebut antara lain  hak untuk  hidup, hak atas keamanan pribadi, hak untuk tidak dicampuri urusan pribadi, keluarga dan  rumahnya, serta hak untuk dapat menikmati harta bendanya. Secara tegas Komisi HAM PBB menyatakan bahwa praktek penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM.

Alasan Penggusuran Paksa

  • adanya proyek pengembangan  dan pembangunan infrastruktur
  • adanya event internasional, seperti konferensi  atau pertandingan olah raga internasional
  • adanya penataan ulang dan upaya untuk mempercantik daerah perkotaan (sering terjadi di Indonesia, khusunya di daerah Jakarta)
  • adanya pertikaian politik yang mengakibatkan pembersihan etnis dari keseluruhan komunitas/kelompok

Posisi Masyarakat yang Digusur

Masyarakat yang tergsusur merupakan Korban Kapitalisme.  Alasan utama Pemda DKI Jakarta melakukan penggusuran adalah untuk menegakkan hukum dan ketertiban. Menurut Pemda, hukum harus ditegakkan karena mereka yang digusur tersebut membangun rumahnya secara ilegal dengan menempati tanah negara atau tanah milik orang lain. Untuk merealisasikan penegakkan hukum tersebut, tidak tangung-tanggung Pemda mengerahkan ribuan aparat tramtib, polisi dan tentara.  Kebijakan Pemda tersebut sangat ironi. Banyak sekali pelanggaran hukum di wilayah DKI Jakarta yang dibiarkan begitu saja, misalnya perjudian, miras dan prostitusi. Malah warga yang memberantas sarang maksiat tersebut ditangkap dan dijatuhi hukuman. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika pelanggaran hukum dilakukan oleh orang-orang yang berpunya, maka hukum melempeng, tetapi jika menyangkut orang kecil hukum dibuat tegak, meskipun belum tentu mereka bersalah.  Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa hukum di Indonesia dibuat oleh DPR bersama dengan pemerintah. Kemudian anggota parlemen yang pemikirannya berbeda-beda, memiliki kecerdasan yang berbeda, dan membawa kepentingan yang berbeda pula hanya akan menghasilkan hukum yang lemah dan tidak konsisten.  Kelemahan hukum itu bisa dilihat dari substansi hukum yang tidak dapat memecahkan problematika kehidupan masyarakat. Misalnya hukum tentang pertanahan yang memberikan kesempatan luas kepada para pemilik modal atau orang-orang kaya untuk memiliki tanah seluas-luasnya meskipun tanah tersebut dibiarkan begitu saja terbengkalai, sehingga terjadi pemusatan pemilikan tanah pada segilintir orang saja. Akibatnya kesempatan sebagian masyarakat memiliki dan memanfaatkan tanah untuk tempat tinggal, tempat usaha dan pertanian menjadi sangat terbatas. Ketidakkonsistenan hukum terjadi karena adanya pertentangan substansi antara satu produk hukum dengan produk hukum lainnya. Misalnya dalam UUD 1945 disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Akan tetapi pada tingkatan hukum yang lebih rendah tidak ada pengaturan bagaimana fakir miskin dan anak-anak terlantar tersebut dipelihara oleh negara. Justru sebaliknya undang-undang dan peraturan pemerintah yang lahir meminggirkan masyarakat lemah. Banyak sekali undang-undang dan peraturan pemerintah di bidang ekonomi yang menguntungkan para pemilik modal dan orang-orang kaya. Sehingga yang terjadi bukannya negara mengurusi fakir miskin tetapi mengurusi kepentingan para pemilik modal.

Yang fatal lagi adalah setiap anggota parlemen dan pejabat pemerintah, setiap parta politik memiliki agenda masing-masing yang sangat rawan disusupi oleh kepentingan para pemilik modal. Di era reformasi sekarang, dengan campur tangan IMF dan Bank Dunia, beberapa undang-undang yang berkaitan dengan ekonomi drafnya dibuat oleh para konsultan asing. Maka tidak heran undang-undang dan peraturan yang lahir cenderung merugikan negara dan rakyat banyak. Bahkan dalam tataran aplikasinya, hukum bisa dipermainkan seusai kepentingan. Inilah kondisi sistem hukum di Indonesia yang mudah disetir untuk kepentingan sekelompok orang. Dalam aspek ekonomi, penggusuran terjadi karena adanya kepentingan ekonomi orang-orang kuat terhadap tanah yang digusur.   Perekonomian Indonesia secara konsep dan praktis berkiblat ke Barat. Sehingga kebijakan ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan sistem ekonomi Kapitalis. Dalam prinsip ekonomi ini, siapa yang kuat dialah yang menang. Artinya di sini berlaku hukum rimba.  Para pemilik modal yang memiliki kekuatan ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi pemerintah untuk kepentingan mereka. Mereka juga bisa menyusupkan kepentingannya dalam undang-undang dan peraturan, termasuk mempengaruhi keputusan pengadilan. Melalui proses inilah kemudian kepentingan-kepentingan mereka direalisasikan.  Adapun mengenai bagaimana kondisi para korban kepentingan mereka, bukanlah persoalan mereka, tetapi menjadi urusan pemerintah. Masalahnya lagi para pejabat yang berwenang membiarkan keadaan para korban tanpa pertolongan, bahkan mereka dianggap sampah.  Seperti yang dialami oleh ribuan korban penggusuran. Mereka digusur dengan cara yang bengis, harta mereka banyak hilang atau hancur bersama hancurnya rumah mereka. Sesudah itu pemerintah membiarkan mereka begitu saja keadaan mereka. Ke mana mereka tinggal setelah rumahnya digusur, bagaimana mengembalikan harta mereka yang hilang, pekerjaan apa yang dapat mereka lakukan untuk menghidupi keluarganya, bagaimana anak-anak mereka bisa sekolah, dan apakah mereka mendapatkan makanan atau tidak, bukanlah urusan pemerintah.  Mereka dianggap sampah kepentingan ekonomi. Mereka akan diperhatikan penguasa atau elit politik, jika datang masa para penguasa memerlukan dukungan mereka untuk mempertahankan kekuasaannya. Fakta tersebut membuktikan bahwa tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan hidup mereka bagi setiap warga negara indonesia di manapun mereka berada. Mereka yang mendapatkan hidup layak adalah mereka yang dapat membayar. Apakah kenyataannya fakir miskin dilindungi negara??

Analisis sebagai Negara Kesejahteraan, Adil, dan Berkemanusiaan.

Republik Indonesia didirikan dengan menempatkan ideologi keadilan sosial sebagai tujuan akhir setiap proses pembangunan. Dengan demikian, keadilan sosial merupakan filsafat politik yang melandasi berdirinya negara ini.

Namun dalam realitasnya, cita-cita luhur tersebut masih berupa cita-cita dan impian, belum tercipta secara real dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan sosial berorientasi pada tujuan negara yang menyejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan yang adil adalah hak setiap warga negara. Orang dikatakan sejahtera apabila telah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun, ketidaksejahteraan sebagian besar masyarakat Indonesia di berbagai tempat kiranya cukup menjadi bukti bahwa negara kerap gagal menyelamatkan sendi-sendi sosial kehidupan rakyatnya. Kasus yang kita bahas adalah yang berkaitan dengan ’papan’ sebagai kebutuhan hakiki manusia untuk hidup. Sudah merupakan hak asasi manusia untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Keberadaan ’papan’ dijamin oleh negara melalui UUD’45 dan Pancasila. Penggusuran paksa yang merampas ’papan’ masyarakat Indonesia tanpa kompensasi yang adil tentu tidak sesuai dengan ideologi bangsa dan jauh dari konsep kesejahteraan yang dijanjikan negara.

Beberapa kasus penggusuran paksa hanyalah contoh kecil poros kesejahteraan sosial dan komitmen keadilan yang sering diabaikan negara dalam setiap pengambilan kebijakan. Ia juga menjadi bukti struktur relasi yang tidak seimbang antara negara, institusi modal, dan komunitas rakyat. Dari situlah, komitmen keadilan dan detak kesejahteraan sosial sebagai filsafat politik yang mendasari berdirinya negara ini perlu terus-menerus diawasi dan diprioritaskan. Negara harus meneguhkan dan mengayunkan kembali cita-cita keadilan sosial terhadap rakyat yang selama ini menjadi bagian dari eksistensinya. Aspek keadilan sosial sebagai ujung proses pembangunan dengan demikian harus menjadi pijakan utama dalam sebuah kebijakan publik dan bukan semata-mata hanya soal kemakmuran ekonomi. Hal ini penting untuk melindungi keberadaan rakyat kecil yang teramat sering tersisih dari proses pembangunan. Mereka kerap dipaksa bertarung dengan sebuah sistem yang tidak adil sejak awalnya. Dalam kasus penggusuran paksa, warga dipaksa keluar namun sering kali kesejahteraan terhadapnya diabaikan. Misalnya, tidak ada kompensasi yang cukup, tidak disediakannya tempat tinggal baru yang lebih layak huni. Dalam alur semacam itu, barangkali kita bisa sedikit mencontoh beberapa negara Eropa, misalnya, Jerman dan Prancis. Di negara-negara tersebut, yang ekonominya dipandu garis ekonomi pasar sosial, Di mana konsep negara kesejahteraan tidak hanya sebagai ’pajangan tertulis’ namun betul-betul direalisasikan, ketimpangan tidak akan begitu tampak mencolok. Di Jerman berlaku kebijakan pajak progresif yang sangat merisaukan individu dengan potensi meraup keuntungan ekonomi amat banyak. Pajak yang dikumpulkan akan disebarkan kembali ke rakyat dalam bentuk berbagai kebijakan publik seperti tunjangan pengangguran, pendidikan gratis, ibu melahirkan, dan lain-lain. Kita tentu berharap pembangunan yang digelontorkan menampilkan wajah kemakmuran. Karena berbagai ketimpangan yang terjadi di negeri ini cukup menunjukkan tergerusnya komitmen keadilan sosial dalam proses pembangunan. Harapan rakyat adalah agar pembangunan harus selalu ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan seluruh rakyat bukan untuk kepentingan kesejahteraan suatu kelompok tertentu dengan alasan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dalam penggusuran tetap saja melekat makna kekerasan. Lebih dari itu, ia juga merupakan cermin kegagalan institusi pengambil kebijakan untuk menjalin dialog yang lebih arif. Politik pembangunan yang mestinya manusiawi pun dalam kasus penggusuran akhirnya dijalankan dengan terlepas dari etika sosial.

Solusi

  • Meninjau peraturan yang berlaku agar sesuai dengan standar internasional.  Negara harus menjamin bahwa peraturan yang ada  memadai untuk mencegah pengusuran paksa dan memberikan  hukuman bagi para pelakunya. Peraturan-peraturan tersebut harus: memberikan jaminan keamanan untuk  menempati rumah dan tanah, selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan, serta dapat berfungsi untuk mengontrol keadaan apabila penggusuran paksa dilakukan.
  • Menerapkan prosedur perlindungan. Penggusuran harus sebisa mungkin dihindarkan. Apabila terpaksa dilakukan, penggusuran harus menerapkan  prosedur perlindungan bagi warga tergusur, yaitu: menyediakan kesempatan untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat tergusur, memberikan informasi yang memadai dan masuk akal bagi setiap orang yang tergusur serta menyediakan waktu yang  cukup masuk akal sebelum tanggal penggusuran yang dijadwalkan, tidak melakukan penggusuran tanpa menunjukan  identitas yang jelas (petugas pemerintah yang bertanggung jawab atas penggusuran tersebut harus hadir di tempat penggusuran, sehingga pelaku teridentifikasi dengan jelas), tidak melakukan penggusuran dalam  cuaca buruk atau di malam hari, menyediakan mekanisme pemulihan secara hukum, dan menyediakan  bantuan  hukum bagi warga tergusur  yang memerlukan untuk menuntut ganti rugi di pengadilan.
  • Mencegah terjadinya tuna wisma. Penggusuran tidak boleh menyebabkan seseorang  atau sebuah keluarga menjadi tidak memiliki tempat tinggal (tuna wisma). Apabila  mereka yang terkena dampak penggusuran tidak mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri, petugas pemerintah harus mengambil seluruh langkah yang sesuai untuk memastikan tersedianya alternatif yang memadai. Dalam hal ini, pemerintah wajib memberikan area pengganti baik untuk tempat tinggal maupun untuk lahan usaha.
  • Merubah Paradigma. Tentu permasalahan di atas terjadi sebagai akibat kesalahan sistemik. Kekeliruan sistemik tersebut antara lain mengenai hukum tanah, tidak adanya jaminan hidup dan pemenuhan kebutuhan pokok setiap angota masyarakat, tidak adanya jaminan pekerjaan dari negara bagi warga negara, dibiarkannya distribusi kekayaan pada pada mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran yang tidak seimbang.  Karena itulah menghilangkan permasalahan yang sangat tidak adil di atas haruslah dengan menghapus kesalahan-kesalahan sistemik.

Literature Review

  1. UUD’45 dan Amandemennya. 2006. Diterbitkan oleh penerbitan Srikandi.
  2. Hadiwardoyo, Al. Purwa. 1990. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius.
  3. Tim Riset PSIK. 2008. Negara Kesejahteraan dan Globalisasi. Pengemabangan   Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman. Jakarta Selata: Universitas Paramadina.
  4. Masruri, Siswanto. 2005. Humanitarianisme soedjatmoko; Visi Kemanusiaan kotemporer. Yogyakarta: Pilar Media.
  5. Anas, Abdullah Azwar (Ketua PP GP Ansor dan anggota Komisi V DPR) . 2007. Meneguhkan komitmen keadilan.

(http://www.gp-ansor.org/opini/meneguhkan-komitmen-keadilan.html )

  1. Palupi, Sri. Penggusuran dan Krisis Orientasi Kota.

(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0312/04/opini/716690.htm)

  1. Tata, Elisabet. Penggusuran, Menyoal Akses Sumber Daya Lahan.

(http://korantempo.com/korantempo/2008/02/21/Opini/krn,20080221,70.id.html)

Lampiran Contoh Kasus Penggusuran

Penggusuran Pedagang Kaki Lima di Tebingtinggi Nyaris Bentrok

Posted in Daerah by Redaksi on Juni 21st, 2007

Tebingtinggi (SIB)
Penggusuran pedagang kaki lima dari sekitar Pajak Hangkang, Pasar Gambir dan Pajak Bunga Jalan Iskandar Muda Tebingtinggi, Rabu (20/6) nyaris bentrok
Dari pantuan SIB, saat puluhan petugas Satpol PP turun bersama anggota Brimob sebagian para pedagang yang berjualan di kaki lima langsung hengkang mengangkat barang dagangannya. Petugas Satpol PP melalui pengeras suara meminta para pedagang jangan berjualan di tempat yang dilarang dan sekitar kaki lima.
Akan tetapi beberapa dari pedagang tersebut khususnya yang mendirikan tempat dagangan menempel dengan dinding ruko dengan tegas menolak dipindah sesuai perintah petugas Satpol PP. Akibat pedagang tidak bersedia digusur, nyaris terjadi bentrok. Pedagang menilai ada beberapa oknum petugas melakukan pengutipan liar namun mengapa mereka tetap digusur.
Pedagang sayur mayur M Siringoringo dan S br Simbolon tidak bersedia membongkar kiosnya dengan alasan petugas Satpol PP pilih kasih dalam menertibkan pedagang. Mereka menuding ada oknum petugas Satpol PP melakukan kutipan melalui pedagang liar agar tetap aman berjualan di kaki lima.
Mendengar ucapan tersebut, petugas Satpol PP meminta agar Simbolon secara pasti menunjuk siapa oknum petugas Satpol PP yang melakukan pengutipan. ”Kami tidak perlu beritahu orangnya namun ia menyuruh pedagang yang tidak jelas untuk mengutip uang keamanan berjualan di kaki lima,” tegas Siringoringo menantang petugas.
Melihat sikap pedagang S br Simbolon dan M Siringoringo yang bersikeras mempertahankan tempatnya berjualan dan tidak bersedia membongkar kiosnya sebelum yang lain ditertibkan, akhirnya petugas Satpol PP dan Brimob meninggalkannya.
Ketika diwawancarai SIB, baik M Siringoringo maupun br Simbolon mengatakan sebenarnya mereka mendukung dilakukan penertiban akan tetapi jangan pilih kasih. Sebagian ada yang digusur dan sebagian lain karena memberikan uang keamanan tidak digusur. ”Setiap hari kami selalu diuber-uber petugas padahal retribusi tetap dibayar,” ungkapnya.
Menurut Siringoringo, sebenarnya ia memiliki kios di gedung Pasar Gambir akan tetapi jualannya tidak pernah laku. ”Sejak pembangunan Pasar Gambir kami hidup melarat dan berjualan di dalam gedung tidak laku. Jika semua ditertibkan pasti gedung Pasar Gambir ramai namun saat ini hanya berkisar 3 persen yang berjualan di dalam,” jelas Siringoringo. (S10/t)

(http://hariansib.com/)

Derita Rakyat Miskin, WC Umum Pun Digusur

Andi Saputra – detikNews

Jakarta – Deretan panjang WC umum di tepi Kali Item, Jakarta Barat, kini telah rata dengan tanah. Warga sekitar pun bingung ketika ingin melakukan aktivitas mandi, mencuci dan buang hajat.

Sedikitnya 100 petugas satpol PP menggusur 32 WC yang berdiri di atas 8 bangunan. WC umum itu dipergunakan oleh 400 KK atau 1.000 orang.

WC yang terletak di Jalan Padamulya Raya dari RT 08 hingga RT 10 Kelurahan Angke, Tambora, Jakbar telah berusia puluhan tahun. WC umum itu disebut-sebut dibangun oleh ibu-ibu Dharma Wanita era Orde Baru.

“Warga di sini memanfaatkan WC umum ini untuk semua hal. Dari mandi, masak, mencuci hingga buang air besar,” kata Laman (51), Ketua RW 9, Angke, Tambora, Jakarta Barat, Rabu, (11/2/2009).

Warga mengeluhkan penggusuran WC umum itu. “Bisa-bisa besok pagi buang air besar di kali,” kata Warjan (32).

Protes yang sama dilontarkan Saodah (29). “Kita nanti nyuci dan mandi di mana?,” ujar Saodah dengan mimik wajah sedih.

Sekretaris Camat Tambora, Imran, mengatakan di lokasi itu rencananya akan dibangun taman kota.

“Buat ruang terbuka hijau. Sekarang, satu rumah harus punya MCK masing-masing,” kata Imran.

(asp/aan)

(http://www.detiknews.com/read/2009/02/11/164151/1083343/10/derita-rakyat-miskin-wc-umum-pun-digusur)

Siswa Korban Penggusuran Pantai Laguna Putus Sekolah

Gunawan Mashar – detikNews

Makassar – Penggusuran rumah nelayan di atas pantai Laguna, Kel. Panambungan, Kec. Mariso, Makassar bukan hanya menyebabkan sekitar 18 kepala rumah tangga harus kehilangan tempat tinggal. Para anak juga harus menanggung derita. Mereka tidak lagi bisa melanjutkan sekolahnya. Selain karena kekurangan biaya, juga karena perlengkapan sekolah mereka hanyut di laut saat penggusuran terjadi. Dari pengamatan detikcom, sebagian besar korban penggusuran kini mendirikan tenda-tenda di pinggir pantai. Triplek dan papan sisa-sisa bongkaran rumah mereka dijadikan dinding tenda. “Ya, kami terpaksa begini. Karena kami tidak tahu mau ke mana lagi,” ujar ibu Hajjiah, salah seorang warga ketika ditemui di lokasi penggusuran, Jum’at pagi (23/7/2004). “Baju dan buku saya ikut hanyut di laut, saat rumah saya dibongkar,” ujar Nanna (10), yang telah duduk di bangku SD kelas tiga. Karena perlengkapan sekolah tidak ada lagi, Nanna tidak lagi pergi ke sekolah sejak rumahnya digusur. Hal yang sama juga menimpa Ilham Baddora. Saat penggusuran terjadi, Ilham lupa mengambil ijazah SMP-nya. Sehingga buldoser yang menghancurkan rumahnya ikut pula menghilangkan tanda lulus sekolah itu. “Sebenarnya saya mau melanjutkan ke SMU, tapi ijazah saya hilang,” keluh Ilham. Penggusuran di Pantai Laguna ini terjadi Kamis lalu, 15 Juli 2004. Sekitar 8 dari 16 rumah yang berdiri di atas laut itu dihancurkan oleh petugas tramtib. Hal ini berkaitan dengan instruksi Walikota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin, yang melarang bangunan di atas laut. (nrl/)

(http://www.detiknews.com/read/2004/07/23/093432/180576/10/siswa-korban-penggusuran-pantai-laguna-putus-sekolah)

Penggusuran di Pisangan Timur Banyak Kejanggalan

Nurfajri Budi Nugroho – detikNews

Jakarta – Ratusan warga di Pisangan Timur, Jakarta Timur, tidak terima rumah tinggal mereka digusur paksa. Mereka juga geram karena diperlakukan kasar. Tapi, di balik penggusuran itu ternyata banyak hal yang janggal. Koordinator LSM Solidaritas Rakyat untuk Otonomi Daerah (SOROD) Ellyus I. Singkoh yang mengadvokasi warga korban penggusuran di RW 9 Kelurahan Pisangan Timur, Jakarta Timur, mengungkapkan adanya kejanggalan-kejanggalan yang terjadi seputar penggusuran rumah-rumah warga, terutama berkaitan dengan santunan yang diberikan. Kejanggalan-kejanggalan tersebut berawal dari bulan Oktober 2004 silam, ketika warga mendapatkan undangan untuk menghadiri rapat di kelurahan untuk membahas rencana pelaksanaan pembangunan rel double-track yang melewati wilayah pemukiman warga. Rapat tersebut juga dihadiri oleh perwakilan Pemkot Jakarta Timur dan Direktorat Perhubungan Darat. “Tapi pada waktu itu warga diarahkan untuk menandatangani blangko kosong dan dipaksa menerima sejumlah uang santunan. Warga dikatakan menempati tanah yang bukan haknya dan juga diancam berhadapan dengan pengadilan kalau tidak mau terima uang tersebut,” ungkap Ellyus kepada detikcom, Jumat (6/1/2006). Kejanggalan yang ditemukan adalah adanya mark-up atas dana santunan yang diberikan kepada warga pada bulan Oktober 2004 sampai Januari 2005, yang besarnya mencapai miliaran rupiah. “Kami punya bukti yang valid terjadinya mark-up tersebut. Sebagai contoh, ada warga yang mendapat uang Rp 67.500.000, namun dalam blangko kosong tersebut ditulis oleh petugas menjadi Rp 103.437.180. Dan itu terjadi pada semua warga,” ujar Ellyus dengan nada geram. Selain itu, warga seharusnya sudah berhak menempati wilayah tersebut karena warga telah menempati daerah tersebut semenjak tahun 1950-an. Sehingga berdasar PP No. 24/1997 Pasal 24 warga sudah berhak menempati wilayah tersebut. “Dalam PP tersebut disebut kalau masyarakat menempati suatu wilayah lebih dari 20 tahun dengan penuh tanggung jawab, maka tanah itu sudah menjadi milik warga,” imbuhnya. Ia juga mengungkapkan hak relokasi yang diterima warga, berdasar Kepres No. 55/1993 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum. “Seandainya warga pun terpaksa digusur, seharusnya ada relokasi terhadap warga ke tempat lain yang layak. Sekarang kita kebingungan kayak kena tsunami,” ucapnya. Keluarnya Surat Perintah Bongkar (SPB) pun memiliki kejanggalan. Menurut Ellyus, SPB seharusnya tidak boleh dikeluarkan karena warga telah mengadukan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi kepada Mabes Polri yang telah meminta kepada Kapolda DKI Jakarta untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan serta untuk melakukan perlindungan kepada warga. “Tapi ternyata SPB keluar juga, bahkan sampai tiga kali. Imbauan kepolisian diabaikan,” tandasnya. Selain melaporkan kepada kepolisian, warga juga telah mengadukan dugaan korupsi yang terjadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan saat ini masih menunggu proses hukum selanjutnya. “Bahkan Pimpronya sudah pernah dipanggil. Yang jelas kami masih berharap ada keadilan di negeri ini,” pinta Ellyus. (san/)

(http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/01/tgl/06/time/112013/idnews/513851/idkanal/10)



FHM Indonesia

(For Him Magazine)

What Is Media Violence???

Karen Boyle, memandang bahwa media massa dapat mempengaruhi perilaku konsumersnya. Efek atau dampak negative dari media adalah dapat mempengaruhi atau memprovokasi perilaku konsumersnya menjadi agresive, pembangkang, dan tidak bermoral dan akhirnya melakukan tindakan criminal. David Trend, menggariskan bahwa tidak mutlak menjadikan orang berperilaku agresive dan melakukan tindakan kriminal, namun media violence dapat menjadi berbahaya. Media dapat memberikan identitas dan mengubah keyakinan dan sikap suatu masyarakat secara perlahan-lahan dan kontinyu.

Violence of Gender

violence of gender is defined as any act of violence against women for the fact of being them, that results in physical, sexual, psychological or economical harm, including coercion or arbitrary deprivation of liberty, in public or private life” -segala hal yang melecehkan, merendahkan, serta bersifat negative bagi wanita dapat digolongkan dalam kekerasan terhadap gender. Wanita sering kali mendapat diskriminasi dan pelecehan dalam media. Bicara soal kekerasan terhadap gender-wanita, lebih mengarah pada perjuangan kaum feminist yang menentang segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dan menuntut adanya kesetaraan.

Kontribusi Media terhadap Kekerasan

Media massa saat ini merupakan media dalam menyampaikan informasi perubahan kepada masyarakat sehingga bisa dikatakan sebagai alat konstruksi sosial yang paling ampuh. Permasalahannya, pesan yang dibawa media massa tidak saja bersifat positif namun juga bersifat negatif, bahkan kadang-kadang pesan positif dimodifikasi hingga menjadi negatif. Dalam kaitannya dengan permasalahan gender, media massa sebenarnya merupakan alat strategis untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap tindak kekerasan pada perempuan karena memiliki hegemoni untuk membangun opini publik. Namun, di sisi lain, media massa juga ternyata menjadi alat strategis untuk mengembangkan bahkan melestarikan tindak kekerasan pada perempuan. Berkaitan dengan kemampuan media yang dapat menciptakan realitas social.

Violence of Gender in FHM- Sebuah Diskriminasi terhadap Wanita

Jelas sekali bahwa dalam majalah FHm telah ada kekerasan terhadap gender-wanita. Dalam setiap halamannya, terdapat model-model wanita yang diphoto seksi dan sedikit vulgar. Jelas, bahwa majalah ini, sebagai majalah pria, berusaha menggunakan tubuh wanita untuk menarik para pria-pembacanya. Jelas wanita dijadikan sebagai objek hiburan, kasarnya tubuh wanita menjadi ’barang dagangan’. Wanita seksi dijadikan penggoda, bagian-bagian tubuhnya di closed up, seperti dada, paha, perut, serta pose-pose yang terlihat menggoda. Tidak hanya photo-photo wanita seksi, tetapi artikel-artikel hasil wawancara dengan model-model wanita yang diphoto yang ditampilkan dibelakang atau disamping photo pun terkesan melecehkan. Isinya seputar, bagian tubuh yang mana yang paling disukai atau sensitive, bagaimana ’bermanja-manja’ terhadap pacar, pengalaman-pengalaman seksual yang pernah dialami, yang intinya memandang wanita sebagai ’alat pemuas’ dan harus ’dinikmati’. Namun celakanya, seperti yang diungkapkan oleh David Trend, bahwa wanita enjoy-menikmati diperlakukan demikian. Wanita senang berpose untuk pria, wanita senang dibilang seksi dan menggoda. Model-model wanitanya mau dan enjoy diphoto hanya menggunakan bikini dan celana dalam. Secara konkret, kaum wanita dalam majalah ini, secara sadar atau tidak sadar, menempatkan posisi diri mereka sebagai ’objek seksual dan objek hiburan’ bagi pria. Mereka sendiri yang menempatkan diri mereka untuk dilecehkan pria, dan menikmatinya- moreover, many women viewers enjoy violent fare-even works that portray violence against woman.

Pornografi

Pornography is violence against women. Karen Boyle defined pornography as the sexually explicit subordination of women that dehumanizes objectifies and degrades women and often sexualizes and celebrates their abuse– Pelecehan seksual terhadap wanita dengan menjadikan wanita sebagai objek seksual.

Pornografi dalam Majalah FHM

Apakah photo-photo seksi model-model wanita dalam majalah FHM lebih mengarah pada seni? Apakah majalah ini sudah melakukan pornografi??? Yang jelas, setelah disahkannya UU Pornografi, segala materi di media yang membangkitkan hasrat seksual, dan mengeksploitasi seks dan menampilkan foto perempuan dalam pose yang mengeksploitasi seks termasuk dalam pornografi. Namun, para penentang UU ini menggunakan kebebasan berkreasi dan berseni sebagai alasan mereka. Lalu, apakah tubuh wanita dalam majalah ini adalah seni yang indah dan harus dinikmati??? Inilah yang ditentang oleh kaum feminist yang anti pornografi. Pornografi tak lain tak bukan hanya melecehkan wanita dan mendiskriminankan wanita hanya sebagai objek seksual dan korban pemuas hasrat kaum hawa. Pornografi, menurut kau feminist, erat sekali hubungannya dengan kekerasan terhadap wanita-gender. Namun, yang jelas, pornografi secara kontinyu, seperti yang diungkapkan David Trend, dapat memicu terjadinya kasus kriminalitas seperti perkosaan.

Daftar Pustaka

Trend, David. 2007. The Myth of Media Violence. A Critical introduction.

Boyle, Karen. 2005. Media and Violence.



EXTRAMEDIA LEVEL

PENGARUH TERHADAP CONTENT MEDIA

Hubungan dengan Jurnalis-Source

Isi dari media (media content) merupakan hasil dari reportase dari jurnalis, dengan melakukan wawancara dari beberapa sumber. Jurnalis mencari dan menentukan berbagai sumber informasi untuk mendapatkan berita tentang suatu event/issue. Jurnalis biasanya menyeragamkan keinginan dan karakter audiencenya. Seolah-olah semua audiencenya tertarik dengan informasi yang akan dia tulis. Jurnalis membuat issue yang ia tulis seolah-olah memang issue penting. Contohnya, berita-berita yang ditayangkan oleh jurnalis-jurnalis gossip atau infotaiment, seolah-olah semua masyarakat ’gila’ artis dan merasa berita seputar artis itu penting. Apakah semua orang peduli kalau Julia Perez bermasalah dengan suaminya seperti yang diberitakan berbagai infotaiment saat ini??? Namun, berkaitan dengan suber informasi, sumber yang berbeda dapat menghasilkan berita yang berbeda pula. Contohnya, dulu ketika terjadi kasus pesawat ”ADAM AIR” yang menghilang, Stasiun TV yang mewawancarai PR ’ADAM AIR’ menampilakan berita yang berupa sebab terjadinya peristiwa dan kondisi ADAM AIR pasca peristiwa, apa yang dilakukan ADAM AIR, kompensasi dari ADAM AIR,dll. Sementara Majalah Cosmo girl, yang terbit sekitar sebulan setelah peristiwa tersebut mencoba mewawancarai teman dari korban pesawat yang ikut menghilang, sehingga isi beritanya pun seputar kisah kehidupan yang pernah terjadi antara si sumber dengan si korban.

Interest Groups

Interest groups ini adalah kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat yang berusaha untuk mengkomunikasikan pandangan atau kepentingan mereka atas satu atau lebih issue kepada masyarakat, serta berusaha mempengaruhi legislative untuk membentuk atau merubah opini dan perilaku masyarakat. Contohnya, ICW (Indonesia Corruption Watch) yang berulang kali, melalui media, berkampanye seputar antikorupsi dan mengajukan beberapa tuntutan terhadap kasus korupsi bahkan ikut mengajukan hukuman bagi para koruptor. Kemudian, masih ingatkah kasus FPI dan kelompok kepentingan lainnya yang terlibat, berusaha mempenagruhi kebijakan media (khususnya TV) dalam menayangkan program yang didalamnya ada peran banci.

Public Relations

Di sini PR merupakan ’alat’ perhatian public. Biasanya interest groups punya dan menggunakan PR dalam berkomunikasi dengan media. Ketika terjadi issue atau event tertentu berkenaan dengan interest groups atau perusahaan-campaign, yang dituju oleh journalist-jurnalist media pertama kali biasanya adalah PR perusahaan tersebut. Contohnya dalam kasus ADAM AIR sebelumnya, biasanya jurnalist mendapat berita dari PR prusahaan ADAM AIR. Karena PR lah yang berkewajiban menyelesaikan masalah berkenaan dengan citra perusahan berkaitan dengan issue yang sedang terjadi. PR erat sekali hubungannya dengan media. PR menggunakan media untuk megangkat citra perusahaannya terkait dengan issue atau event yang sedang berlangsung.

Advertisers and Audiences

Untuk kebanyakan komersial media, audiences sangat penting karena perhatian mereka dapat menarik para pengiklan yang dapat memberikan mereka (media) keuntungan atau provid. Setiap media punya marketplace-nya masing-masing. Mereka punya target audiences sendiri. Misalnya majalah Kawanku, target audiencesnya adalah remaja wanita. Sehingga iklan yang sering diterima contohnya iklan pembersih muka, hand-body-lotion, pembalut, aksesories perhiasaan, baju-baju dan lain sebagainya yang dibutuhkan oleh remaja wanita dan diharapkan iklan tersebut laku dan tepat sasaran. Nah, berhubung para pengiklan atau agency periklanan itu mempunyai marketplace dan dalam memilih media tempat beriklan disesuaikan dengan marketplace dari audiences itu sendiri. Sehingga media harus punya dan konsisten terhadap marketplace dan target audiencesnya. Marketplace media mempengaruhi isi-content, karena isinya tentu harus disesuaikan dengan target audiences dalam marketplace media tersebut. Cotohnya dalam majalah kawanku tadi, isi dari liputan di media berkisar masalah remaja wanita termasuk cerpen-cerpennya.

Goverment Controls

Pengaruh extramedia yang lainnya adalah dari pemerintah. Semua pemerintah negara mengontorl media massa yang beredar, misalnya dengan beberapa kebijakan. Ada yang pengaruh atau kontro dari pemerintah terlalu kuat dan ada yang pemerintahnya hanya memberlakukan sedikit tekanan terhadap media yang beredar. Di Indonesia sendiri, saat ini, pemerintah mengontrol media yang beredar dengan berbagai kebijakan diantaranya mengeluarkan UU yang mengatur penyiaran media dan kode etik jurnalisme dalam media. Kebijakan yang baru-baru ini disahkan adalah UU pornografi, yang oleh pemerintah, sebagai ketentuan yang membatasi dampak negative media khusunya terhadap anak-anak. Selain itu, media sering kali dimanfaatkan oleh partai politik untuk berkampanye. Dalam iklan kampanye partai gerindra yang ditayangkan di berbagai stasiun TV, ada target audiences atau orang-orang yang diharapkan mendukung partainya, yaitu kelompok tani, kelompok buruh, dan rakyat kecil.

Technology

Era modernisasi menutut media ikut mengadopsi teknologi dalam memenangkan persaingan. Revolusi teknologi memaksa media untuk ikut melakukan revolusi media massa. Surat kabar dan majalah bekembang dengan design grafis. Layout, komposisi warna, cover, jenis kertas, dll mulai dipertimbangkan untuk menarik minat audiences. Apalagi dengan adanya teknologi, media cetak dalam distribusi atau penyebarannya juga lebih mudah, efisien, cepat, dan praktis. Pengiriman isi media dari jarak jauh tidak lagi brmasalah lewat fax, e-mail, dll. Berkembangnya gobal village lewat internet membuat sejumlah media membuka situs online demi mempertahankan kelangsungan hidupnya-usahanya. Contohnya, kompas.com, thejakartapost.com, dll. Isi media tidak lagi hanya berupa informasi murni, namun, dalam menampilakan informasi itu ada tekhnologi yang diterapkan agar membuat audiences tertarik dan mau membacanya, misalnya dengan animasi grafis, disain sampul yang menarik, kertas colorfull,



{May 25, 2009}   Regulasi Media Massa

Regulasi Media Massa

Kebebasan pers itu penting. Hanya dengan kebebasan berbagai komunikasi dapat disampaikan kepada masyarakat. Media massa yang tidak punya kebebasan dalam menyiarkan beritanya, ibarat sudah kehilangan sifat dasarnya. Bagaimana mungkin ia dapat memberitakan ’kebobrokan’ di kalangan masyarakat tanpa ada kebebasan yang dipunyai pers untuk mengungkap dan menyiarkannya? Oleh karena itu, tidak boleh ada pengekangan apa pun terhadap pers. Pemerintah tidak berhak ikut campur dalam media massa, apapun alasannya. Alasan pemerintah jadi bisa ikut membina pers, atau menyelesaikan sengketa pers, tetapi cepat atau lambat, jika dibiarkan berlarut-larut bukan mustahil pers akan kehilangan kebebasannya. Berbagai proses penghambatan pers dalam usaha menyiarkan berita sudah selayaknya dihilangkan. Jadi kebebasan pers adalah penting dalam kehidupan pers. Tetap, kebebasan pers akan lebih bermakna jika disertai tanggung jawab. Dengan kata lain, pers tidak sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan itu harus bisa dipertanggungjawabkan, yang lebih dikenal dengan istilah kebebasan yang bertanggung jawab. Media harus berhati-hati untuk menyiarkan dan menyebarkan informasi. Media tidak bisa seenaknya memberikan informasi atau mengarang cerita agar medianya laris. Jurnalis adalah profesi yang dituntut bertanggung jawab terhadap apa yang dikemukakannya. Jika pemberitaannya memiliki konsekuesi merugukan masyarakat, maka pihak media harus bertanggung jawab. Jika sudah merugikan secara perdata/pidana, maka media harus siap jika diprotes dipengadilan. (Ardianto,dkk, 2007: 202-204)

Jadi, untuk mengatur para jurnalis untuk bertanggung jawab maka pemerintah melakukan kontrol kebebasan melalui UU. Regulasi dilakukan agar para jurnalis bertanggung jawab terhadap apa yang ia beritakan dan hak masyarakat sebagai sumber ataupun objek penerima berita dilindungi.

Cinema Policy in Indonesia

Karena adanya globalisasi, di mana hubungan dengan Negara-negara barat khususnya Amerika mulai dibuka sejak jamannya Orba, berbagai film-film luar negeri seperti dari Amerika serta china mulai mendominasi pasar indonesia. Regulasi mulai dilakukan untuk melindungi budaya local indonesia. Di sini regulasi diberlakukan sebagai filter terhadap film asing. Contohnya film dari Amerika, sering kali terdapat budaya nasionalis amerika atau propaganda dari pemerintah amerika, yang harus diawasi atau disensor untuk melindungi nasionalis bangsa. Pada maa orba, regulasi dari pemerintah bersifat memaksa. Media, secara keseluruhan, berusaha dikuasai pemerintah untuk kepentingan pemerintah. Film Indonesia berperan sebagai media propaganda pemerintah. Film-film indonesia, dalam pasarnya, lebih bersifat mengejar keuntungan ekonomi. Sementara content atau isi dari film kurang diperhatikan, misalnya dampak terhadap degradasi budaya indonesia. Oleh karena itu, regulasi perfilman diperlukan untk melindungi content-content dari film-film yang diproduksi dan beredar dalam masyarakat. Sebelum beredar, sebelumnya, film harus lulus dari badan  yang bertugas meyensor film-LSF. Sensor film dilakukan melindungi masyarakat dari bahaya film yang tidak sesuai dengan politik dan norma masyarakat indonesia. (Moran, 1996:172-184)



Ruang Publik (Public Sphere)

Public sphere, muncul berawal dari pemikiran Habermas, merupakan suatu ruang di mana terdapat kebebasan dari intervensi, dan orang-orang yang ada di dalamnya terbebas dari ikatan atau pengaruh luar, terutama dari negara dan pemerintah. Ide-ide dalam masyarakat diterima dengan bebas (kekuasaan terbuka terhadap aksesnya), didiskusikan, maupun diperdebatkan. Public sphere merupakan hal penting dalam masyarakat. Public sphere adalah tempat di mana opini public terbentuk dan akses publik terhadap keselamatan publik, komersial, industri, morality, dan juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan diperhatikan. Tidak ada kekuasaan termasuk kekuasaan politik dan kelompok borjuis yang dapat menolak aksesnya terhadap publik. Dapat dikatakan unsur demokrasi berkembang di dalamnya (Bucy dan Newhagen, 2004 : 187-190).

Opini publik dalam konteks public sphere adalah bebas dan dapat diakses. Opini public adalah nilai – nilai serta keyakinan yang mesti diterapkan dalam masyarakat bila seseorang tidak ingin dirinya terisolasi; dalam area –area controversial ataupun transisional , opini public adalah nilai2 yang biasa dituangkan tanpa adanya penutupan diri. Dalam lingkup opini public, terdapat pula pandangan – pandangan yang bersifat minoritas. Dalam artian, media public biasanya memilih subjek – subjek yang menarik bagi masyarakat, dan media membuat subjek tersebut menjadi kontroversial. Dalam tiap opini public, terdapat kaum mayor dan minoritas. Dimana kaum minoritas biasanya cenderung terpojokkan di dalam pengkomunikasian pendapat mereka. Sedangkan kaum mayoritas dapat lebih bebas mengutarakan pandangan mereka tentang permasalahan public yang beredar. Kaum minoritas cenderung mengungkapkan pandangan mereka dalam bentuk aktivitas – aktivitas untuk menunjukkan eksistensi mereka. Sehingga dalam hal ini, ruang public seharusya berfungsi sebagai tempat dimana public dapat mengkomunikasikan opini nya, tanpa adanya pengaruh tekanan dari kaum yang menjadi mayoritas (West dan Turner, 2007 : 444-449).

Media Sebagai Public Sphere

Media mengkomunikasikan opini public. Seringkali media memilih subject yang akan menarik minat masyarakat & media kadang membuat nya tampak begitu controversial. Media membantu public untuk menginformasikan wujud masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Media mempengaruhi opini public tentang berbagai macam public issue yang beredar. Meskipun terkadang media bekerja secara simulatif terhadap opini pubic yang dominant, sebagai peredam aspirasi kaum minoritas, tetapi media merupakan alat paling efektif guna menyampaikan opini  public terhadap public issue yang beredar (West dan Turner, 2007 : 449). Jadi media dapat berfugsi sebagai ruang public ketika media dapat memposisikan dirinya secara baik sebagai ruang dengar opini public yang menampung aspirasi public terhadap suatu permasalahan maupun realita social budaya yang beredar.

Media massa sebagai public sphere harus melayani masyarakat akan informasi yang benar dan faktual dalam pemberitaannya. Tidak seharusnya media massa dibatasi kekuasaan politik ataupun pemilik modal. Namun, realitasnya, sampai saat ini jurnalis dalam memberitakan berita kepada publik masih terkait dengan idiologi pemilik modalnya (Bucy dan Newhagen, 2004 : 192-193).

Contoh Media yang Telah Menjadi Public Sphere

Media saat ini bebas menyiarkan kebobrokan pemerintahan yang ada tanpa dibatasi atau dihalangi oleh kekuatan politik pemerintah seperti jaman Orba dahulu. Kasus korupsi, perbuatan-perbuatan asusila dan immoral pejabat-pejabat Negara yang tidak segan-segan diberitakan oleh media telah membuktikan media sebagai ruang public yang memberitakan kebenaran kepada public. Kebenaran dan Informasi dapat diakses public lewat media.

Contoh media yang memberikan layanan keselamatan public tampak dalam iklan layanan kesehatan waspada flu burung yang gencar diekspose media beberapa waktu lalu saat virus ini menginfeksi sebagian dari masyarakat. Iklan layanan masyarakat tentang ’ cegah flu burung’. Dalam kasus ini, media menjalankan fungsinya sebagai ruang public yang merangkum opini public dalam menanggapi issue public yang beredar. Public menanggapi issue flu brung yang sedang marak dengan opini – opini yang beredar di masyarakat. Kemudian, media sebagai ruang public yang menyuarakan kekuatiran public tentang bahaya flu burung, menginformasikan opini publik yang beredar sehubungan dengan permasalahan ini.



RESEARCH PROPOSAL

INTERPERSONAL COMMUNICATION BETWEEN LECTURER AND STUDENTS TO MOTIVATE STUDENTS IN CLASS

Analysis with Social Learning Theory

Finished by:

Lucia Tri Ediana P.J.     (03568)

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITIC SCIENCE

ATMAJAYA YOGYAKARTA UNIVERSITY

2009

INTERPERSONAL COMMUNICATION BETWEEN LECTURER AND

STUDENTS TO MOTIVATE STUDENTS IN CLASS

Analysis with Social Learning Theory

Introduction

Have a positive relation between teacher and students may motivate students into success stories in class (Elias 2006; Aydogan 2008; Corrigan and Chapman 2008).

Many researches prove the importance of interpersonal communication between teacher and students which can helps students become success. Interpersonal communication is face to face communications which have high affectivity. Have a good interpersonal communication make good deal in relation. A positive relation between teacher and students in interpersonal communication result ‘trusting’ in that relation. Students trust in teacher is important. There are correlation between trust in teacher and motivation to students. (West and Turner 2007; Corrigan and Chapman 2008).

“Trust provides a sensation of collegiality that rebels from the bland acceptance of the ideas and values of the ‘public’ and challenges each student and teacher to formulate, discover and test, through dialogue, their personally transforming relationships to knowledge, self and the other….. The development of interpersonal trust is believed to be an initial step to forming healthy human relationships” (Corrigan and Chapman, 2008).

The challenge for teacher in education is to motivate the unmotivated. Surely even the “Success Stories” of the education system can all recount subjects where they at least initially lacked motivation at school (Keach, 2009).

Building a positive relationship between the teacher and students helps students become more successful and have more motivation. A teacher’s relationships with students both within and outside the classroom affect their attitudes towards and motivation for that class. Teacher’s attention can motivate student to get success in their studying (Aydogan, 2008). Teachers should motivate students to get their students success. Growing emotional-motivational reflects the importance of various interpersonal skills as essential for success in school and life. Emotion may drive attention. Emotional learning broadens the framework of education and addresses the complex interplay of emotions and cognition in learning, remembering, and understanding. Learning is a process closely linked to students’ social and emotional needs, as well as the context of their learning environment (Elias, 2006).

Albert Bandura, explained social learning theory, there is continuous interaction between a person’s internal state and the social reinforcements that follow from the person’s behavior with others. Thus we learn how to behave from our social interactions. In this way, there is role playing and modeling which can persuade person to motivate his/her behavior. Human may have predicted will act out their role by learning their model, by imitating (Larson, 1986).

Based on some researches above we can conclude that interpersonal communication between lecturer and students have an influence to students’ motivation. Though these findings are suggest or instructive about the effects of teachers’ communication on motivation, needs to consider additional variables. Research variable focused most-only in teacher. So, this research will design to complete the previous researches and use not only teacher’s role but also students’ perspective when they playing their role. This research focus on analyzing students’ motivation use social learning theory, which explained by Albert Bandura, to analyze the research problem and adds role playing and modeling, as additional variables, which can be analyze with social learning theory.

Research Questions

  1. How a lecturer being a model which can motivate his /her students into motivation? In other ways, how students’ act out their role (role playing) with motivation by a lecturer?
  2. What are some of the factors affecting students into motivation in relation to a lecturer as their model?
  3. How does motivation persuade or impact students’ success in their studies?

Literature Review

Favoritism in the classroom is one of the most important reasons affecting instruction and thus student success (Aydogan, 2008). Favoritism is an act of teacher’s attention. Teacher’s attention can motivate student to get success in their studying. Factors leading to favoritism among teachers may be listed as follows: student success, student’s social or economic status, gender, physical appearance, familiarity between student and teacher or student’s family and teacher (blood relations or friendship), and parallelism between the ideology (political or religious) of students or their family and the teacher. Building a positive relationship between the teacher and students helps students become more successful and have more motivation. A teacher’s relationships with students both within and outside the classroom affect their attitudes towards and motivation for that class. However, teachers are sometimes affected by student success or failure. More precisely, teachers may criticize less successful students more harshly and have less contact with them, thus breaking their motivation to learn. On the other hand, they may perceive certain other students as more successful and thus develop a more positive attitude towards them, which ultimately supports them in gaining more success (Aydogan, 2008).

Trust is an integral component for culturally sensitive pedagogy. This study sought to support that gains in teaching effectiveness can be obtained by sharing responsibilities with students, and working together to build trustful bonds. The participants for this study were 200 college students enrolled in an introductory communication studies course at a large mid-Atlantic university. Participants completed a multiple scale survey to help clarify the relationship between one’s level (during high school) of trust in teachers, learner empowerment, and motivation to learn. Trust is a “process of holding certain relevant, favorable perceptions of another person”. Trust provides a sensation of collegiality that rebels from the bland acceptance of the ideas and values of the ‘public’ and challenges each student and teacher to formulate, discover and test, through dialogue, their personally transforming relationships to knowledge, self and the other. The results offered rather compelling support that trust most likely was associated with more motivated and empowered students. The fact that all of these students made it to college could suggest that trust in teachers might have helped create the empowerment and motivation that propelled them to higher education. The results would suggest that the gains to motivating and empowering students seem well worth the risks experienced when we open up and self disclose to our students (Corrigan and Chapman, 2008).

A research from Elias also prove: “making good interpersonal communication between teacher and students is important”. A growing body of research and practice in the area of social and emotional learning (SEL) reflects the importance of various interpersonal skills as essential for success in school and life. These include communication skills, proactive skills, productivity, collaborative problem solving Collaborative Problem Solving (CPS) is a behavior management approach developed for children with social, emotional, and behavioral challenges. The CPS approach views behavioral challenges as a form of learning disability and seeks to correct behavior through cognitive intervention. School personnel are becoming increasingly aware of the benefits of SEL approaches for their schools. When translated into the classroom, social and emotional learning broadens the framework of education and addresses the complex interplay of emotions and cognition in learning, remembering, and understanding. Learning is a process closely linked to students’ social and emotional needs, as well as the context of their learning environment. Research has demonstrated that emotions drive attention, learning, and memory. Students distracted or overcome by emotions that interfere with learning may find it difficult to accomplish simple academic tasks such as following directions (Elias, 2006).

Though these findings are suggest or instructive about the effects of teachers’ communication on motivation, needs to consider additional variables. Research variable focused most-only in teacher. So, this research will design to complete the previous researches and use not only teacher’s role but also students’ perspective when they playing their role. This research use social learning theory which explained by Albert Bandura to analyze the research problem and adds role playing and modeling, as additional variables, which can be analyze with social learning theory.

Theoretical Frameworks

  1. Interpersonal Communication

Communication is a social process in which individuals employ symbols to establish and interpret meaning in their environment. Interpersonal communication refers to face to face communications which have high affectivity. Investigating how relationships begin, the maintenance of relationships, and the dissolution of relationships (West and Turner, 2007).

One way of defining interpersonal communication is to compare it to other forms of communication. In so doing, we would examine how many people are involved, how physically close they are to one another, how many sensory channels are used, and the feedback provided. Interpersonal communication differs from other forms of communication in that there are few participants involved, the persons who in interaction are in close physical proximity to each other, there are many sensory channels used, and feedback is immediate. An important point to note about the contextual definition is that it does not take into account the relationship between the persons who in interaction. From this view, interpersonal communication is defined as communication that occurs between people who have known each other for some time. Importantly, these people view each other as unique individuals, not as people who are simply acting out social situations. Interpersonal communication is so important because interpersonal communication can gain knowledge about another individual and to establish an identity. The roles playing in human relationships help human establish identity. So too does the face, the public self-image from a person present to others. Both roles and face are constructed based on how a person interacts with others. Finally, interpersonal communication needed to express and receive interpersonal needs (Hybels and Weaver, 2004).

  1. Social Learning Theory

Albert Bandura, explained social learning theory, there is continuous interaction between a person’s internal state and the social reinforcements that follow from the person’s behavior with others. Thus we learn how to behave from our social interactions. In this way, there is role playing and modeling which can persuade person to motivate his/her behavior. Students may have predicted will act out their role by learning their teacher, which position as student’s model, by imitating. Bandura’s major premise is that human can learn by observing others. He considers vicarious experience to be the typical way that human beings change. He uses the term observation of another’s response and modeling, and he claims that modeling can have as much impact as direct experience. Social learning theory is a general theory of human behavior.  Bandura warned that children and adults acquire attitudes, emotional responses, and new styles of conduct through modeling. Human learning by imitating his/her model (Larson, 1986).

  • General principles of social learning theory follow:

1. People can learn by observing the behavior is of others and the outcomes of those behaviors.

2. Learning can occur without a change in behavior. Behaviorists say that learning has to be represented by a permanent change in behavior; in contrast social learning theorists say that because people can learn through observation alone, their learning may not necessarily be shown in their performance. Learning may or may not result in a behavior change.

3. Cognition plays a role in learning. Social learning theory has become increasingly cognitive in its interpretation of human learning. Awareness and expectations of future reinforcements or punishments can have a major effect on the behaviors that people exhibit.

4. Social learning theory can be considered a bridge or a transition between behaviorist learning theories and cognitive learning theories (Ormrod, 1999).

  • How the environment reinforces and punishes modeling:

People are often reinforced for modeling the behavior of others. Bandura suggested that the environment also reinforces modeling. This is in several possible ways:

1. The observer is reinforced by the model.

2. The observer is reinforced by a third person. The observer might be modeling the actions of someone else.

3. The imitated behavior itself leads to reinforcing consequences. Many behaviors that people learn from others produce satisfying or reinforcing results.

4. Consequences of the model’s behavior affect the observer’s behavior vicariously. This is known as vicarious reinforcement. This is where in the model is reinforced for a response and then the observer shows an increase in that same response. Bandura illustrated this by having students watch a film of a model hitting an inflated clown doll. One group of children saw the model being praised for such action. Without being reinforced, the group of children began to also hit the doll (Ormrod, 1999).

  • Contemporary social learning perspective of reinforcement and punishment:

1. Contemporary theory proposes that both reinforcement and punishment have indirect effects on learning. They are not the sole or main cause.

2. Reinforcement and punishment influence the extent to which an individual exhibits a behavior that has been learned.

3. The expectation of reinforcement influences cognitive processes that promote learning. Therefore attention pays a critical role in learning. And attention is influenced by the expectation of reinforcement. An example would be where the teacher tells a group of students that what they will study next is not on the test. Students will not pay attention, because they do not expect to know the information for a test (Ormrod, 1999).

  • Cognitive factors in social learning:

Social learning theory has cognitive factors as well as behaviorist factors (actually operant factors).

1. Learning without performance: Bandura makes a distinction between learning through observation and the actual imitation of what has been learned.

2. Cognitive processing during learning: Social learning theorists contend that attention is a critical factor in learning.

3. Expectations: As a result of being reinforced, people form expectations about the consequences that future behaviors are likely to bring. They expect certain behaviors to bring reinforcements and others to bring punishment. The learner needs to be aware however, of the response reinforcements and response punishment. Reinforcement increases a response only when the learner is aware of that connection.

4. Reciprocal causation: Bandura proposed that behavior can influence both the environment and the person. In fact each of these three variables, the person, the behavior, and the environment can have an influence on each other.

5. Modeling: There are different types of models. There is the live model, and actual person demonstrating the behavior. There can also be a symbolic model, which can be a person or action portrayed in some other medium, such as television, videotape, and computer programs (Ormrod, 1999).

  • Behaviors that can be learned through modeling:

Many behaviors can be learned, at least partly, through modeling (Ormrod, 1999).

  • Conditions necessary for effective modeling to occur:

Bandura mentions four conditions that are necessary before an individual can successfully model the behavior of someone else:

1. Attention: the person must first pay attention to the model.

2. Retention: the observer must be able to remember the behavior that has been observed. One way of increasing this is using the technique of rehearsal.

3. Motor reproduction: the third condition is the ability to replicate the behavior that the model has just demonstrated. This means that the observer has to be able to replicate the action, which could be a problem with a learner who is not ready developmentally to replicate the action.

4. Motivation: the final necessary ingredient for modeling to occur is motivation; learners must want to demonstrate what they have learned. Remember that since these four conditions vary among individuals, different people will reproduce the same behavior differently (Ormrod, 1999).

Research Methodology

  1. Location

This research will have located in Atma Jaya Yogyakarta University (UAJY), more specific, this research only looks closely students in faculty of social and politic science (FISIP). This location selected because of attainable. Researcher is a student in FISIP, UAJY. So, researcher can reach this space. Object in this research also closed to students in first year because researcher still in first year degree. It’s about feasibility.

  1. Type of Social Research

This research refers to qualitative type. Qualitative is one of social methodologies, this research method is set exploration can lead not only to formulating hypotheses and theories, but also modifying and testing hypotheses and theories. Exploration helps to analyze research object. Method in qualitative research is design to bring the researcher closer to social reality and social interaction (Sarantakos, 1993; Dorsten and Hotchkiss, 2004). This research will analyze the social interaction’s problem use social learning theory, theory which exists in interpersonal behaviors. Researcher want analyze about role playing and modeling between lecturer and students in class. The interaction, into interpersonal communication, between lecturer and students will analyze to testing the hypothesis. This research has a hypothesis that interpersonal communication between lecturer and students can motivate students in class, liked have explained in introduction. Have a positive relation between teacher and students may motivate students into success stories in class (Elias 2006; Avdogan 2008; Corrigan and Chapman 2008). It’s about social research which the object is human relation. There is no absolute statistic data can describe, predict and judge it as certainty and absolutely. In different place and condition it may result different data. This research will have any subjectivity from researcher because researcher has an interest to this problem and the researcher’s position is in line (researcher is a student in FISIP UAJY). This research is design to analyze and prove or testing the hypothesis. So, researcher concludes this research into qualitative type.

  1. Methods of Data Collection

To collect the data in this research, researcher will use method in participant observation. Researcher as a student in FISIP UAJY actually becomes a member of the objects to study. To collect the qualitative data researcher observe from inside the group and the researcher identity is a student. As a student researcher can study and observe what happened in class from inside and as experienced by the members of the group to dealing and exploring the research problems. Research will locate in FISIP UAJY. Object in this research also closed to students in first year because researcher still in first year degree. So, researcher will to observe role playing and modeling between lecturer and students in every class which researcher joined into. The researcher-observed relationship is close, based on understanding and mutual trust, and also directed towards cooperation for the purpose of answering the research questions. The researcher is expected to respect the observed, to be understanding, and tolerant and also familiar with the condition and process of teaching-learning in class. Researcher as observer will recording and noting the data or information during the process of teaching-learning occurs in class. Researcher will observe the relation and interaction patterns when lecturer and students have in communications. Observation design to collect the data to answer the research questions, how students act their role, did a lecturer be a motivating model to the students in class, what are the factors affect students into motivation in relationship with their lecturer in class, and what is the impact of motivation to students.

  1. Analysis Data

The analysis of data can be through scaling interpretation for the observation recording that can be in support to any descriptive type of analysis basing from social learning theory. In social learning theory explain about role playing and modeling in interpersonal communication that can persuade in behaviors changing. For changing their attitude or behaviors need any motivational. In this way, there is role playing and modeling which can persuade person to motivate his/her behavior. Human may have predicted will act out their role by learning their model, by imitating (Larson, 1986). So, by the supporting data from observation, this research will analyze use social learning theory to testing the hypothesis: lecturer as a model to the students may motivate students in class in success stories in positive interpersonal relation. Analysis of the data is interwoven and takes place concurrently.

  1. Resources

The resources deemed for the realization of the study can come from related books and certain publications mostly underlying to the support resource materials ideally as basis for the literature studies of the study. The knowledge and information about the previous researches to be integrated and evaluated for validity and reliability can be found from The Free Library online.

  1. Access to Study Population

For such access to study population there can be distribution of permission proposal or letter, that should be given to the supervisor heads of UAJY and ask their permission to use FISIP UAJY as the venue for giving out of the participant observation to interpersonal communication between lecturer and students in class. Thus, informing FISIP UAJY that such suitable information about FISIP UAJY will be use as information reference for whatever case data needed for the overall aspect of the research.

References

Larson, Charles U. 1986. Persuasion Reception and Responsibility.

California: Wardsworth Publishing Company.

West, Richard dan Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication theory.

Analysis and Application, Third edition. New York: McGraw-Hill

Sarantakos, Sotirios. 1993. Social Research. Australia: MacMillan.

Hybels, Saundra and Richard L. Weaver II. 2004. Communicating Effectively.

New York: McGraw-Hill

Dorsten, Linda E. and Lawrence Hotchkiss. 2004. Research Methods and Society.

Foundations of Social Inquiry. USA: Pearson Prentice Hall.

Elias, Maurice J. 2006. Building Learning Communities through Social and

Emotional Learning: Navigating. The Rough Seas of Implementation.

Publication: Professional School Counseling.

(http://www.thefreelibrary.com/Building+learning+communities+through+social+and+emotional+learning%3a…-a0153359898)

Corrigan, Michael W. and Paul E. Chapman. 2008. TRUST IN TEACHERS: A MOTIVATING ELEMENT TO LEARNING (http://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue9_2/Corrigan_Chapman.html )

Aydogan, Ismail. 2008. Favoritism in the classroom: a study on Turkish schools.

Publication: Journal of Instructional Psychology

(http://www.thefreelibrary.com/Favoritism+in+the+classroom%3a+a+study+on+Turkish+schools.-a0181365763 )

Abbott, Lynda. Social Learning Theory.

From notes on Ormond’s Human Learning

[Ref:  Ormrod, J.E. (1999). Human learning (3rd Ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.]

(http://teachnet.edb.utexas.edu/~lynda_abbott/Social.html)



HAMBATAN-HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

  1. ETNOSENTRISME

Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70)

Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.

  1. STEREOTIPE

Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan (stereotyping), yakni menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi orang-orang berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategori-kategori yang sesuai, ketimbang berdasarkan karakteristik individual mereka. Banyak definisi stereotype yang dikemukakan oleh para ahli, kalau boleh disimpulkan, stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual. Kelimpik-kelompok ini mencakup : kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua, berbagai pekerjaan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu. Stereotip tidak memandang individu-individu dalam kelompok tersebut sebagai orang atau individu yang unik.

Contoh stereotip :

Ø Laki-laki berpikir logis

Ø Wanita bersikap mental

Ø Orang berkaca mata minus jenius

Ø Orang batak kasar

Ø Orang padang pelit

Ø Orang jawa halus-pembawaan

Menurut Baron dan Paulus ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya stereotip. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan mengangap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu disekitar kita. Stereotip dapat membuat informasi yang kita terima tidak akurat. Pada umumnya, stereotip bersifat negative. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan di kepala kita, namun akan bahaya bila diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotip dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri. Contoh dalam konteks komunikasi lintas budaya misalnya, kita melakukan persepsi stereotip terhadap orang padang bahwa orang padang itu pelit. Lewat stereotip itu, kita memperlakukan semua orang padang sebagai orang yang pelit tanpa memandang pribadi atau keunikan masing-masing individu. Orang padang yang kita perlakukan sebagai orang yang pelit mungkin akan tersinggung dan memungkinkan munculnya konflik. Atau misal stereotip terhadap orang batak bahwa mereka itu kasar. Dengan adanya persepsi itu, kita yang tidak suka terhadap orang yang kasar selalu berusaha menghindari komunikasi dengan orang batak sehingga komunikasi dengan orang batak tidak dapat berlangsung lancar dan efektif. Stereotip terhadap orang afrika-negro yang negatif menyebabkan mereka terbiasa diperlakukan sebagai kriminal. Contohnya, di Amerika bila seseorang (kulit putih) kebetulan berada satu tempat/ruang dengan orang negro mereka akan , secara refleks, melindungi tas atau barang mereka, karena menggangap orang negro tersebut adalah seorang pencuri. Namun, belakangan, stereotip terhadap orang negro sudah mulai berkurang terleih sejak presiden amerika saat ini juga keturunan negro. Orang Indonesia sendiri di mata dunia juga sering distereotipkan sebagai orang-orang ’anarkis’ , ’bodoh’, konservatif-primitif, dll.

(Mulyana, 2008;237-243)

  1. PRASANGKA

Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagi. Dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi, prasangka ini konsekuensi dari stereotip, dan lebih teramati daripada stereotip. Richard W. Brislin mendefinisikan prasangka sebagai sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Seperti juga stereotip, meskipun dapat positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat negatif. Prasangka ini bermacam-macam, yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan, prasangka gender, dan prasangka agama. Prasangka mungkin dirasakan atau dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan pada suatu kelompok secara keseluruhan, atau seseorang karena ia anggota kelompok tersebut. Prasangka membatasi orang-orang pada peran-peran stereotipik. Misalnya pada prasangka rasial-rasisme semata-mata didasarkan pada ras dan pada prasangka gender-seksisme pada gendernya.

Brislin menyatakan bahwa prasangka itu mencakup hal-hal berikut : memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi kelompok lain, bersikap ramah pada kelompok lain pada saat tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti terlambat padahal mereka menghargai ketepatan waktu. Ini berarti bahwa hingga derajat tertentu kita sebenarnya berprasangka terhadap suatu kelompok. Jadi kita tidak dapat tidak berprasangka. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya. Contohnya diskriminasi terhadap orang negro yang ada di amerika.

Prasangka dapat menghambat komunikasi. Oleh karena itu, orang-orang yang punya sedikit prasangka pun terhadap suatu kelompok yang berbeda tetap saja lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang yang mirip dengan mereka karena interaksi demikian lebih meyenagkan daripada interaksi dengan orang tak dikenal. Ada beberapa contoh prasangka misalnya. orang Jepang kaku dan pekerja keras, orang Cina mata duitan, politikus itu penipu, wanita sebagai objek seks, dll. Prasangka mungkin tidak didukung dengan data yang memadai dan akurat sehingga komunikasi yang terjalin bisa macet karena berlandaskan persepsi yang keliru, yang pada gilirannya membuat orang lain juga salah mempersepsi kita. Cara yang terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun kadang cara ini tidak berhasil dalam semua situasi.

(Mulyana, 2008; 243-247)

  1. RASIALISME

Rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau menitikberatkan pertimbangan rasial. Kadang istilah ini merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme. Jika istilah rasisme umumnya merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud buruk, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasi-konotasi tersebut. Para rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi rasial.

Dalam website-online free dictionary, racialism didefinisikan sebagai perlakuan diskriminatif atau semena-mena yang diberikan kepada anggota suatu kelompok ras tertentu. Diskriminasi berupa perlakuan tidak adil seseorang atau suatu kelompok berdasarkan prasangka.

”racialism – discriminatory or abusive behavior towards members of another race “

http://en.wikipedia.org/wiki/Racialism

http://www.thefreedictionary.com/racialism

Rasialisme di sini menjadi sangat berbahaya karena selain menghambat keefektifan komunikasi antar budaya—antar ras yang berbeda, rasialisme dapat menjadi pemicu pertikaian antar ras, di mana konflik yang terjadi akan sulit sekali untuk didamaikan dan berlangsung lama. Contoh konflik akibat rasialisme yang pernah terjadi dan terkenal di Indonesia adalah konflik- rasialisme anti-Tionghoa, di mana di Indonesia pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap ras Tionghoa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Butuh perjuangan yang panjang agar ras Tionghoa diterima dan diakui-dihargai keberadaannya.



{April 23, 2009}   Culture Shock

Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali di luat negeri, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa disekelilingnya banyak orang asing di sekitarnya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah berubah.

Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Maka, .ketika seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi.

Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan dan tekanan mental. Seperti yang dikatakan Nolan: “lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan dimana kita tidak tahu respon yang tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki.” Smith dan Bond juga menawarkan penjelasan yang lebih spesifik mengenai masalah yang timbul karena perpindahan tempat a/l: terpisah dari jaringan sebelumnya yang mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya masalah kesehatan, perubahan sumber daya secara material dan teknis, kekurangan informasi tentang rutinitas sehari-hari, dan hal-hal lainnya.

Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ culture shock.

Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang dalam pergaulan social. Misalnya kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana kita memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak dan menerima undangan, dsb. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotip dengan cara negatif. Misalnya, “Orang-orang Amerika Latin yang malas” “Orang Indonesia yang anarkis”, dsb. Pernah ada seorang Belanda dan beberapa orang Jepang yang mengalami kasus serupa ketika berkunjung ke Indonesia, mereka sama-sama mengalami diare akibat memakan masakan Indonesia. Mereka hanya bisa menerima makanan dari restorant-restorant berlisensi barat seperti Hartz, Pizza Huts, dll, atau restorant Jepang. Orang Belanda tersebut langsung melakukan stereotip bahwa makanan di Indonesia kurang higenis.

Sojourneys dan Settlers

Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner: karena respek mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbweda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada daalm proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourneys berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, antara turis dalam sehari, sampai pelajar asing dalam beberapa tahun.

Definisi Culture Shock

Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambing dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon.

Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb. Contohnya ada seorang Australia yang mengunjungi sahabat penanya di Malaysia dan tinggal di rumah sahabatnya itu untuk sementara waktu, dia terkejut seputar kamar mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan sempit dengan makuk besar berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya berupa ruang kecil dimana dipojokannya ada lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut mengalami kesulitan karena dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan bathtub dan shower serta air hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Dia tidak terbiasa dengan pasangan homogen di Indonesia karena komunitas marginal tersebut lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak dianggap suatu perbuatan memalukan.

Reaksi pada culture shock

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain:

  1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
  2. rasa kehilangan arah
  3. rasa penolakan
  4. gangguan lambung dan sakit kepala
  5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
  6. rindu pada teman dan keluarga
  7. merasa kehilangan status dan pengaruh
  8. menarik diri
  9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka

Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)

Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.

Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru

Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.

Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum, makan dan tidur yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman.

Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang berhasi menyesuaikan diri dengan lingkunagan barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahap pertama yang disebut tahap ‘bulan madu’ berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6 bulan dimana kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih bersemangat dan beritikad baik dalam menjalin persahabatan antarbangsa. Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri. Misalnya kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi, adat-istidatnya, dan orang-orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke kesembuhan dengan bersikap positif terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai salah penduduk pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai menanggulanginya, “ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya”. Pada tahap keempat, penyesuaian diri hampir lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul dalam lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada ketegangan sosial yang nantinya seiring dalam pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang ke kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan dirindukan.

<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; text-align:right; mso-pagination:widow-orphan; direction:rtl; unicode-bidi:embed; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>


/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar Edisi Revisi. 2008.

Indonesia : Rosda.

Mulyana, Deddy. Komunikasi AntarBudaya.Paduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya.

Samovar




et cetera