CULTURE SHOCK YANG DIALAMI MAHASISWA PERANTAUAN FISIP UAJY ANGKATAN 2008 DAN PENGARUHNYA TERHADAP MOTIVASI KULIAH
Disusun oleh :
Lucia Tri Ediana P.J. (03568)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA
YOGYAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Culture shock merupakan fenomena yang akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Littlejohn, dalam jurnal yang ditulisnya, meyatakan bahwa culture shock adalah fenomena yang wajar ketika orang bertamu atau mengunjungi budaya yang baru. Orang yang mengalami culture shock berada dalam kondisi tidak nyaman baik secara fisik maupun emosional.
Sebuah jurnal menceritakan seorang siswa yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah dan hendak melanjutkan ke universitas, untuk pertama dia akan bangga dan mempersiapkan dirinya untuk memnghadap lingkungan kuliah yang baru. Dia akan mempersiakan dirinya untuk bertemu dengan orang-orang baru, antusiasme untuk belajar agar menuai kesuksesan dalam lingkungannya yang baru. Namun, pada akhirnya siswa tersebut, terhadap lingkungan barunya mengalamai ketidaknyamanan hingga membuatnya tidak lagi ingin melanjutkan kuliahnya (Balmer, 2009). Dari jurnal ilmiah ini bisa disimpulkan bahwa setiap siswa menjadi wajar jika mengalami culture shock sebagai akibat perpindahannya dari lingkungan sekolah menengah yang lama ke lingkungan universitas yang baru. Kebiasaan-kebiasaan di lingkungan baru, seperti yang diungkapkan Balmer, dapat menyebabkan tekanan dan berakibat pada kompetensi akademik siswa tersebut. Akan menjadi negative kalau culture shock tersebut tidak teratasi, dalam hali ini orang gagal untuk meyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya, dan menjadi depresi (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Dalam hal ini si siswa menjadi depresi dan tidak ingin masuk kuliah lagi.
Berdasarkan jurnal penelitian yang telah disebutkan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa setiap mahasiswa akan mengalami culture shock dalam tahun pertama mahasiswa itu pindah dalam lingkungan universitas yang baru, seiring dengan usaha mahasiswa tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu. Dalam salah satu jurnal disebutkan bahwa culture shock yang dialami oleh siswa dapat mempengaruhi proses akademik yang ditempuh siswa tersebut. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk mengetahui dan membuktikan apakah mahasiwa FISIP UAJY angkatan 2008 juga mengalami culture shock dan apakah keadaan tersebut mempengaruhi motivasi belajar mereka. Lebih spesifik lagi, mahasiswa FISIP UAJY angkatan 2008 berasal dari berbagai daerah luar Jogja. Peneliti menganggap potensi culture shock yang akan dialami mahasiswa luar Jogja tersebut lebih besar dan lebih mudah diamati. Oleh karena itu lingkup penelitian dipersempit untuk mahasiswa angkatan 2008 yang berasal dari luar Jogja.
- RUMUSAN MASALAH
a) Apakah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 mengalami culture shock? Seperti apakah bentuk culture yang telah mereka alami?
b) Apakah kondisi culture shock tersebut mempengaruhi motivasi kuliah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008? Seperti apakah pengaruhnya?
c) Apakah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 telah mampu beradaptasi terhadap lingkungan baru mereka? Bagaimana motivasi kuliah mahasiswa-mahasiswa tersebut setelah mampu beradaptasi?
- TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis fenomena culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 dan pengaruh fenomena tersebut terhadap motivasi belajar mahasiswa.
- MANFAAT PENELITIAN
a) Secara praksis dapat dijadikan panduan atau bahan bacaan oleh mahasiswa baru yang akan berpindah dari lingkungan sekolah menengah yang lama ke lingkungan universitas yang baru.
b) Secara akademis dapat menjadi penelitian awal yang dapat dikembangkan oleh peneliti selanjutnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ culture shock (Mulyana, 2006; Littlejohn, 2004).
Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali di lingkungan baru, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa disekelilingnya begitu berbeda dengan lingkungan lamanya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah berubah. Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Maka, .ketika seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi (Mulyana, 2006).
Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan social. Misalnya kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana kita memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak dan menerima undangan, dsb. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotip dengan cara negatif (Mulyana, 2006).
Sojourneys dan Settlers
Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh Bochner: karena respek mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbweda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada daalm proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourneys berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, antara turis dalam sehari, sampai mahasiswa dalam beberapa tahun (Samovar, 2000).
Definisi Culture Shock
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambing dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Mulyana, 2008).
Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb.
Reaksi pada culture shock
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Reasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain:
- antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
- rasa kehilangan arah
- rasa penolakan
- gangguan lambung dan sakit kepala
- homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
- rindu pada teman dan keluarga
- merasa kehilangan status dan pengaruh
- menarik diri
- menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka
Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve)
Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar, (2000) menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.
Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru
Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.
Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum, makan dan tidur yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman.
Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang berhasi menyesuaikan diri dengan lingkunagan barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahap pertama yang disebut tahap ‘bulan madu’ berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6 bulan dimana kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih bersemangat dan beritikad baik dalam menjalin persahabatan antarbangsa. Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri. Misalnya kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi, adat-istidatnya, dan orang-orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke kesembuhan dengan bersikap positif terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai salah penduduk pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai menanggulanginya, “ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya”. Pada tahap keempat, penyesuaian diri hampir lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul dalam lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada ketegangan sosial yang nantinya seiring dalam pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang ke kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan dirindukan.
Menanggulangi Culture Shock
Beberapa cara yang ditawarkan untuk menanggulangi culture shock, antara lain:
- berteman dengan orang-orang dari budaya baru, dan dengan sesame pendatang.
- belajar mengenai budaya baru, hal ini bias dilakukan sebagai antisipasi cultureshock, misalnya dengan mempelajari komunikasi lintas budaya, dan mempelajari bahasa-bahasa asing.
- lebih sabar, dengan mengingat bahwa akan ada tahappenyesuaian, dan saat-saat krisis akan segera berlalu.
- ambil bagian dalam kegiatan kultural, pengalaman adalah guru yang paling berharga. Deengan berpartisipasi, kita dapat belajar banyak tentang kebudayaan tersebut.
Gegar budaya adalah fenomena yang alamiah. Intesitasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor, baik internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan) maupun eksternal (kerumitas budaya baru atau lingkungan baru yang dimasuki). Gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal untuk mengembangkan keprbadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam bergaul dengan orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita sendiri.
BAB III
METODE PENELITIAN
- Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelian kuantitatif yaitu penelitian yang berusaha mencari hubungan antara dua variable dan menggunakan data statistic dalam menjawab pertanyaan penelitian (Dorsten and Hotchkiss, 2004). Hubungan variable yang ingin diketahui adalah pengaruh culture shock terhadap motivasi belajar mahasiswa. Sementara data yang ada akan diekspresikan secara stastistic untuk mengetahui tingkat presentase culture shock yang dialami oleh mahasiswa. Peneliti bertindak sebagai pengamat yang hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala dan mencatatnya dalam buku observasi. Data atau informasi yang didapat akan diolah dan ditranskip untuk menjawab pertanyaan penelitian. Dikarenakan sebagian kebenaran yang akan diteliti mungkin hanya bisa diperoleh secara probabilistic, realitas yang ada adalah realitas objektif, sebagai realitas yang berada di luar diri peneliti. Dengan demikian, untuk sebagian observasi dan pengumpulan data, peneliti akan mengambil jarak dengan objek yang ditelitinya.
- Sumber Data
Responden yang dipilih adalah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008. Sample data diambil secara acak atau random. Selain itu peneliti dalam mengumpulkan data juga melakukan studi pustaka baik dari media cetak maupun dari internet.
- Teknik Pengumpulan data
a) Survei lapangan dengan kuesioner sebagai alat bantu.
b) Studi pustaka dilakukan untuk menunjang pengumpulan informasi atau data untuk menjawab masalah-masalah yang sudah dirumuskan. Di samping itu studi pustaka juga dilakukan untuk mendapatkan kerangka dasar teoritis dalam penelitian.
- Teknik analisis
Teknik analisi data melalui pengkategorisasian data yang telah ditranskip untuk kemudian dilakukan juga reduksi data. Data diperoleh adalah data kuantitatif. Data-data tersebut dianalisis berdasarkan kerangka teori yang ada untuk memperoleh kesimpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagian besar mahasiswa mengaku mengalami fase optimistic baik yang mengalami culture shock maupun yang tidak merasakan culture shock yang cukup berarti. 16 orang responden merasakannya. Fase ini adalah fase di mana mahasiswa merasa senang dan tertantang ketika pertama kali pindah ke Jogja. 12 orang merasa biasa saja sementara seorang lagi merasa sedih dan tertekan. Seorang yang merasa sedih dan tertekan tersebut sebenarnya telah mengalami masalah kultural dalam culture shock.
Dari 30 sampling mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 yang dipilih secara random atau acak diperoleh data :
Variable
|
Jumlah
|
Mengalami culture shock |
25 |
Tidak mengalami culture shock |
5 |
Total |
30 |
Presentase pengalaman culture shock : |
83,33% |
Bisa disimpulkan sebagian besar mahasiwa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 (lebih dari 80%) mengalami culture shock pindah ke Jogja. Sementara, setelah peneliti menganalisis data lebih jauh, ternyata 16,67% mahasiswa yang menyatakan tidak mengalami culture shock dalam bentuk apapun, semuanya berasal dari daerah Jawa Tengah, daerah yang terletak di dekat Jogja dan budayanya tidak berbeda jauh dengan budaya di Jogja. Hal ini menunjukan bahwa semakin mirip dan dekat budaya antara budaya asal dengan budaya baru maka kemungkinan terjadinya culture shock pun semakin kecil.
Bentuk culture shock yang dialami oleh 83, 33% (24 mahasiswa) mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 :
Bentuk Culture Shock yang Dialami
|
Jumlah Respoden
|
Merasa tidak nyaman dan tidak betah tinggal di Jogja |
7 orang |
Mengalami kebingungan dan ketidaktahuan ingin berbuat apa di Jogja |
9 orang |
Kesulitan bergaul dan mencari teman |
9 orang |
Tertekan dan stress hingga sakit |
5 orang |
Ingin pergi meninggalkan Jogja |
9 orang |
Kehilangan jati diri/ merasa bukan siapa-siapa |
5 orang |
Merasa orang Jogja sangat tidak meyenangkan |
3 orang |
Mengurung diri dari lingkungan |
6 orang |
Bermasalah dengan makanan dan pola makanan di Jogja |
10 orang |
Bentuk-bentuk permasalahan di atas merupakan kondisi seseorang yang mengalami culture shock ketika berpindah ke lingkungan dengan budaya baru. Seseorang mungkin mengalami lebih dari satu dari masalah tersebut di atas bahkan mungkin dapat mengalami kesemua bentuk permasalahan akibat culture shock di atas. Permasalahan yang timbul akibat culture shock tersebut tidak hanya bersifat emosional namun juga segi pisik yang dapat menyebabkan apakah seseorang itu mengalami gangguan makan dan sakit. Lebih lanjut lagi, peneliti ingin mengetahui pengaruhnya terhadap motivasi belajar mahasiswa.
Berkaitan dengan 4 tahapan culture shock yang telah diuraikan dalam kajian pustaka, masalah-masalah tersebut di atas adalah masalah-masalah yang dialami mahasiswa ketika dalam fase masalah kultural.
Dari 83,33% yang mengalami culture shock diperoleh data :
Variable
|
Jumlah
|
Terganggu motivasi belajarnya |
13 |
Tidak terganggu sama sekali |
12 |
Total |
25 |
Presentase yang terganggu motivasi belajar : |
52% |
Melalui data ini peneliti menyimpulkan bahwa culture shock relative berpengaruh terhadap motivasi belajar mahasiswa. 52% mahasiswa terganggu motivasi belajarnya akibat culture shock sementara yang lain tidak berpengaruh. Culture shock bisa dikatakan berpengaruh terhadap terganggunya motivasi belajar mahasiwa namun effektifitasnya tidak besar. Hasil penelitian menunjukan persentase yang hampir fifti-fifti. Setengah sample dari populasi yang diamati mengaku terganggu motivasi belajarnya karena mengalami culture shock sementara setengahnya tidak. Namun, untuk dijadikan catatan, 12 orang yang mengaku tidak terganggu motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi dengan budaya di Jogja. Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya dengan udaya baru di Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan.
Gangguan terhadap motivasi belajar atau kuliah yang dialami mahasiswa (sekitar 53%)diantaranya adalah :
- Malas datang kuliah
- Bolos kuliah
- Tidak bisa konsentrasi ketika kuliah
- Merasa tidak nyaman ikut kuliah dan ingin berhenti kuliah
- Nilai atau IP kuliah jeblok
Dari 83,33% yang mengalami culture shock diperoleh data :
Variable
|
Jumlah
|
Mampu beradaptasi |
23 |
Belum mampu beradaptasi |
2 |
Total |
25 |
Presentase yang mampu beradaptasi: |
92% |
Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah. Di sinilah mereka mengalami fase penyesuaian setelah sebelumya mengalami fase recovery. 92% mahasiswa dari mahasiswa yang mengalami culture shock sadar bahwa mereka harus menerima budaya baru di Jogja jika ingin meyelesaikan konflik masalah cultural yang terjadi, apalagi masalah cultural tersebut telah mengganggu motivasi kuliah mereka. Di tahap ini mereka masih berupa kesadaran dan keinginan untuk beradaptasi dan disebut fase recovery. Setelah mereka berhasil beradabtasi, artinya mereka tindak lagi merasa tidak nyaman dan tidak lagi mengalami masalah kultural, di sinilah fase adabtasi telah berhasil mereka lakukan. Sementara 8% (2 orang) dari mahasiswa yang mengalami culture shock yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan merasa tidak nyaman hidup di Jogja. Mereka mengaku memilih menghindar dari masalah-masalah kultural yang dialaminya. Hal ini berarti, jika orang ingin hidup nyaman dan berhasil di lingkungan yang baru maka mau tidak mau ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru tersebut. Ada pepatah mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk komunikasi yang lancar dan effektif perlu adanya usaha untuk menghargai dan memahami serta menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal di budaya itu.
Namun, yang jelas, dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ada 2 jenis manajemen konflik yang dilakukan mahasiswa yaitu beradaptasi dengan menerima dan memahami budaya di Jogja sedangkan yang satunya lagi menghindar. Dengan beradabtasi dan meyesuaikan diri dengan budaya di Jogja mahasiswa merasa lebih nyaman tinggal di Jogja dan permasalahan motivasi kuliah yang terjadi terselesaikan, sementara usaha menghindar justru tidak membuat persoalan lebih baik bahkan tampak buruk. Sekali lagi, untuk terjalinnya komunikasi yang effektif dan lancar kita harus menerima dan meyesuaikan diri dengan budaya tempat kita berada. Menghargai dan menerima segala keanekaan/ keheterogenan budaya yang ada mempermusdah kita beradabtasi dengan budaya yang baru yang akan memperlancar komunikasi yang terjadi, dan komunikasi itu berlangsung secara nyaman.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Untuk memperinci dan memperjelas hasil yang didapat dari penelitian ini, kesimpulan akan dibuat dalam bentuk pointer.
- Sebagian besar mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 megalami fase optimistic di mana mereka merasa senang dan tertantang ketika awal berpindah ke Jogja.
- Sebagian besar mahasiswa, sekitar 83,33%, mengalami culture shock. Mereka mengalami beberapa masalah kultural baik secara fisik maupun emosional. Dari perasaan tidak nyaman ringan hingga depresi. Dari pola makan yang tidak teratur hingga mengalami sakit.
- 16, 67 mahasiswa yang tidak mengalami masalah kultural (culture shock) yang berarti berasal dari daerah sekitar Jogja yang tidak terlalu berbeda budayanya dengan budaya di Jogja. Sehingga, dapat disimpulkan semakin mirip dan dekat budaya antara budaya asal dengan budaya baru maka kemungkinan terjadinya culture shock pun semakin kecil.
- Setengah sample dari populasi (52%) yang diamati mengaku terganggu motivasi belajarnya karena mengalami culture shock sementara setengahnya tidak. Data yang fifti-fifti menunjukan bahwa pengaruh terhadap motivasi belajar relatif tidak terlalu besar tetapi juga tidak kecil. Namun, untuk dijadikan catatan, 12 orang yang mengaku tidak terganggu motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi dengan budaya di Jogja. Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya dengan udaya baru di Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan.
- ganggua motivasi belajar/kuliah mahasiswa ada beberapa macam. Dari malas dan bolos kuliah hingga tidak ingin ikut kuliah lagi. Dari tidak bisa konsentrasi belajar hingga nilai atau IP jeblok.
- Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah. Sementara 8% (2 orang) yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan budaya baru di Jogja mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan merasa tidak nyaman hidup di Jogja.
- Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ada 2 jenis manajemen konflik yang dilakukan mahasiswa yaitu beradaptasi dengan menerima dan memahami budaya di Jogja sedangkan yang satunya lagi menghindar. Dengan beradabtasi dan meyesuaikan diri dengan budaya di Jogja mahasiswa merasa lebih nyaman tinggal di Jogja dan permasalahan motivasi kuliah yang terjadi terselesaikan, sementara usaha menghindar justru tidak membuat persoalan lebih baik bahkan tampak buruk.
- Ada pepatah mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk komunikasi yang lancar dan effektif perlu adanya usaha untuk menghargai dan memahami serta menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal di budaya itu. Jika orang ingin hidup nyaman dan berhasil di lingkungan yang baru maka mau tidak mau ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru tersebut.
SARAN
Dikarenakan waktu penelitian yang terlalu singkat, jumlah data yang berhasil diperoleh masih sedikit. Terlebih lagi, banyak data dari responden yang menjawab kuesioner terkesan main-main atau kurang serius dalam menjawabnya menjadikan penelitian ini jauh dari sempurna. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang atau penelitian lanjutan untuk memperbaiki dan melengkapi penelitian ini. Variable dalam penelitian ini dapat diganti maupun ditambah. Atas kekurangan dan kelemahan penelitian ini, peneliti mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Dorsten, Linda E. and Lawrence Hotchkiss. 2004. Research Methods and Society.
Foundations of Social Inquiry. USA: Pearson Prentice Hall.
Mulyana, Deddy.2006. Komunikasi AntarBudaya. Paduan Berkomunikasi dengan
Orang- Orang Berbeda Budaya. Bandung : Rosda.
Mulyana, Deddy.2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar Edisi Revisi.
Bandung : Rosda.
Samovar, Larry A. & Richard E. Porter. 2000. Intercultural Communication A
Reader, Ninth Edition. Belmont : Wadsworth.
Balmer, Starr. 2009. Experiencing Culture Shock in College. Participation Helps Students Adapt to an Unfamiliar Lifestyle.
(http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_culture_shock )
Littlejohn, Simone. 2004. Culture shock management: when you move to a new place, you are likely to experience a certain degree of culture shock. Though it can be very difficult for some, it is a worthwhile experience.
Publication in Swiss News
(http://www.thefreelibrary.com/Culture+shock+management%3a+when+you+move+to+a+new+place%2c+you+are…-a0119267612)
Kingsley Richard S. and J. Oni Dakhari. 2006. Culture Shock.
(http://kidshealth.org/PageManager.jsp?dn=studenthealthzone&lic=180&cat_id=20313&article_set=51180&ps=604 )