Luciatriedyana’s Weblog











{February 3, 2009}   A LIFE HISTORY OF MAMI VIN

LIFE HISTORY

Mami Vin: I m proud of myself and now I can proof it in my successfully

Disusun oleh:

Lucia Tri Ediana P. J. / 03568

FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2008

KATA PENGANTAR

Di kalangan masyarakat Indonesia, waria atau banci dipandang negatif, dan mereka sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Mereka sering mendapat judge melanggar kodrat Tuhan. Sebagian besar masyarakat menentang kehadiran mereka, terutama dipandang dari sudut agama. Lalu, sebenarnya siapa dan bagaimana kah mereka sebenarnya? Mengingat mereka sering ditempatkan pada pihak yang bersalah, apakah benar mereka bersalah karena menjadi waria? Lalu di mana letak kesalahan mereka?

Memang, waria tidak sengaja diciptakan Tuhan karena Tuhan hanya menciptakan manusia sebagai pria atau wanita. Namun banyak juga masyarakat yang kurang menyadari, mengapa seseorang menjadi waria? Yang ada hanyalah kesadaran bahwa waria adalah orang yang memang menentang kehendak Tuhan. Itu saja, dan habis perkara! Orang tidak mau peduli mengapa mereka memutuskan menjadi waria. Tidak ada yang pedul bahwa sebenarnya menyatakan diri menjadi waria berarti menyatakan diri untuk dihina, dicela, direndahkan, dilecehkan, dan mungkin juga diasingkan dari masyarakat. Bahwa sebenarnya kaum waria lah yang lebih menderita. Oleh karena itu, jujur, saya salut dengan keberanian para waria yang berani menyatakan bahwa dirinya adalah waria. Bukanya bersembunyi dalam kemunafikan dan menyiksa diri dengan menutupi jati dirinya. Bukankah ini suatu bukti bahwa kaum waria itu kuat secara mental? Tahan banting dan kuat dalam menjalani penderitaan hidup.

Menyingkapi hal ini saya ingin mengangkat kisah hidup seorang waria yang saya yakin pasti penuh dengan perjuangan hidup. Beruntung , saya berhasil mendapatkan contact person seorang ketua perkumpulan waria se-Yogyakarta yang diberi nama KEBAYA. Singkatan dari Keluarga Besar Waria Yogyakarta. Beliau bernama Vinolia Wakijo, akrab dipanggil mami Vin. Saat ini beliau aktive menjabat sebagai director di KEBAYA. Mami Vin adalah sosok yang terkenal di Jogja lebih-lebih karena aktivitas sosialnya. Beliau lah salah satu ukti bahwa waria tidak selamanya buruk atau sampah masyarakat. Tetapi waria juga manusia dengan segala potensi dan juga sisi kemanusiaan. Sungguh suatu pengalaman yang berharga bagi saya diperbolehkan mewawancarai beliau.

When she was a child

Vinolia Wakijo. Akrab dipanggil mami Vin. Asli orang Jogja. Bungsu dari enam bersaudara. Lahir pada tanggal 9 Mei 1958. Lahir sebagai laki-laki. Tidak ada masalah dengan masa kecil beliau. Dalam arti, beliau menjalani masa kecil sama saja seperti anak-anak lainnya seusianya. Bermain dan bersenda gurau bersama teman-temanya. Hanya saja beliau mengakui bahwa kebanyakan temanya adalah perempuan dan beliau meyadari bahwa beliau lebih suka bermain bersama perempuan. Mungkinkah hal ini menjadi salah satu faktor beliau menjadi waria? Bisa jadi, karena bisa dikatakan anak-anak berada dalam tahap imitating. Mereka belajar membentuk siapa diri mereka dengan meniru sekitarnya. Proses sosialisasi sangat menentukan kepribadian seseorang. Dengan bermain bersama perempuan, memainkan permainan mereka, secara tidak langsung mami Vin mempelajari sifat dan karakter seorang perempuan. Terlebih karena minimnya pengetahuan tentang sosok laki-laki dan tergantikan dengan sosok perempuan. Kalau mau jujur, dalam sosiologi, sosok waria atau mami vin tidak dapat disalahkan, pada dasarnya mereka memang mengalami proses sosialisasi sebagai waria. Tida ada yang salah dengan sosok manusianya. Dikatakan sebagai penyimpangan bukan karena orangnya yang menyimpang, tetapi karena orang atau masyarakat menganggapnya menyimpang.Orang tidak dapat disalahkan karena menjadi waria karena memang seharusnyalah mereka seperti itu sesuai dengan proses sosialisasi yang diterimanya. Bagaimana pun bukan mami Vin sendiri yang ingin menjadi waria, kalau disuruh memilih beliau tentu juga akan memilih untuk hidup normal sesuai masyarakat.Saya rasa tidak cukup intelektual untuk meyalahkan kaum waria. Terlalu sempit baik pikiran ataupun pengetahuannya.Lalu apakah salah proses sosialisasinya? Entahlah, menentang proses sosialisasi sangat tidak relevan dengan ilmu sosiologi itu sendiri. Salah siapa? Yang jelas bukan mereka.Sosok seperti mami Vin tidak dapat dipersalahkan. Kalau norma masyarakat juga tidak mau disalahkan, bukankah lebih baik kalau kita menganggap menjadi waria bukanlah suatu kesalahan? Dalam berbagai hal atau aspek, berpikiran liberal dan moderat itu juga diperlukan. Misalkan dalam kasus ini. Apakah menjadi waria itu hal yang buruk? Apakah menjadi waria itu merugikan masyarakat? Apakah mami vin sosok yang buruk? Apakah mami Vin merugikan masyarakat? I guess not. She is really really good person. I make sure bout it.

Sekali lagi, terlepas dari benar atau salahnya waria, mereka itu benar- benar ada, ditengah- tengah kita. Walaupun keberadaan mereka itu belum benar- benar diterima, namun ada banyak hal yang dapat kita contoh dari kaum waria. Keberanian mereka, sikap oputunis dan pantang menyerahdan mau berjuang, tabah, kuat(secara mental dalam menjalani kehidupan yang bisa dibilang cukup berat)Mereka memang beda dan unik serta istimewa. Walaupun keunikan mereka itu sering dianggap sebagai salah satu hal yang menyalahi kodrat. Namun, sekali lagi. Waria itu juga ciptaan Tuhan. Mereka punya rasa dan punya hati. Mereka juga punya keinginan untuk lebih dihargai oleh sesama manusia, bukan Cuma oloka- olokan dan cemoohan yang malah lebih banyak mereka terima. Ok, waria tetap waria. Meraka juga manusia. Tidak ada manusia yang sempurna didunia. Apalagi waria. Namanya juga manusia. So, marilah kita hargai mereka seperti layaknya kita menghargai kaum hetero.

When she know that she was different

In time he knows tat he was she…

Sewaktu masa remaja dirinya sadar bahwa dirinya berbeda dari konsep laki-laki. Beliau tahu bahwa dirinya tidaklah seperti laki-laki pada umumnya. Mami Vin yang mencintai kaum lelaki bukannya kaum wanita, mami Vin yang tahu bahwa dirinya lebih bersifat dan berperasaan seperti wanita, centil, menyukai dandan, dan segala aspek dalam diri perempuan lainnya. Sungguh merupakan awal tekanan batin yang berat baginya. Tidak mudah untuk menghadapinya. Bahkan saya rasa saya tidak akan mampu menghadapinya. Mungkin saya hanya akan bersembunyi dalam kemunafikan. Ketakutan. Seperti itu lah mami Vin pada awalnya.

“ Saya takut. Orang bilang saya ini banci. Saya waktu itu tidak mau dibilang banci. Bagi saya istilah banci dulu kan sangar(mengerikan). Orang bilang kalau saya hidup sebagai banci, saya akan masuk neraka. Saya takut dia berdosa.”

Awal mami Vin menyadari orang seperti dirinya disebut banci, beliau sangat ketakutan. Masa remajanya dihabiskan untuk mencari siapa dirinya sebenarnya. Sungguh pencarian jati diri yang berat dengan berbagai tekanan baik dari keluarga maupun dari lingkungan sekitar. Bagaimana istilah banci sudah melekat dalam dirinya.

“Hati saya sebenarnya sakit dan sedih mendengar orang mengejek saya. Apalagi kalau mereka membawa-bawa keluarga saya. Keluarga saya malu saya menjadi banci. Pernah orang tua saya mengurung saya. Orang tua mana yang mau anaknya menjadi banci?apalagi kalau orang bicara pada kakak-kakak saya seperti ini :

“adhimu kae banci tho?”(adikmu itu banci kan?)

“Saya sedih mempermalukan keluarga saya”

Akhir masa SD dan memasuki masa SMP, baik tekanan batin maupun fisik telah dia jalani. Bagaimana keluarganya menentang dirinya menjadi banci, bagaimana masyarakat merendahkan dan mencemoohnya. Semua itu beliau jalani dengan tabah. Segala bentuk diskriminasi social beliau hadapi dengan penuh perjuangan tanpa kenal meyerah. Akhir masa remajanya beliau telah memutuskan bahwa dirinya terlahir untuk hidup sebagai waria. Memantpkan hati untuk memasuki dunia penuh penderitaan dan perjuangan hidup. Mami Vin siap dengan konsekuensi hidup sebagai waria.

Merasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan tidak ingin menjadi beban bagi keluarganya, mami Vin memutuskan untuk hidup mandiri dan keluar dari rumah. Meski miskin dan menderita seperti apapun juga beliau tetap tidak menyerah. Meski batin mengeluh tiap hari, beliau tidak mau menunjukannya di luar terlebih kepada keluarganya. Walau beliau semenderita apa, beliau tidak mau dikasihani. Meski kelaparan dan tidak mempunyai uang beliau tidak mau menerima pemberian keluarganya apalagi memintanya. Beliau berusaha menunjukan bahwa dirinya baik-baik saja menjadi waria. Selain karena memang ingin mandiri, alasan sebenarnya karena beliau tidak mau disalahkan oleh keluarganya karena menjadi waria.

ngko ndak disyukurke salahe dadi banci….” (nanti bisa disalahkan kenapa jadi banci)

First time in making love

Seks pertamanya adalah ketika SMP. Tidak hanya dengan teman-temanya, tetapi juga dengan salah seorang gurunya. Karena dilakukan atas dasar suka sama suka, maka mungkin tidak bisa dikatakan sebagai pelecehan.Mami vin mengetahui bahwa beliau tidak keberatan dengan hal itu. Beliau malah senang karena hasratnya tersalurkan.

lha wong aku yo seneng….” (saya juga senang kok….)

Her black life

Secara jujur dan terbuka beliau menceritakan bahwa dirinya pernah bekerja sebagai PSK untuk makan. Tarifnya tergolong murah. Dulu dibayar sekitar Rp 2000,00- RP 3000,00. Untuk makan tarif itu tergolong pas-pasan. Keluar masuk diskotic. Menjadi kupu-kupu malam. Hal ini beliau jalani sekitar 10 tahun, antara tahun 1980-1990. Bukannya beliau tidak ingin pekerjaan yang lebih layak, tetapi susah sekali bagi kaum waria untuk mengembangkan potensinya. Masyarakat masih banyak yang belum menerimanya.

Banyak suka dan duka ketika beliau menjadi seorang PSK. Menjadi tidak nyaman ketika beliau harus melayani lelaki yang tidak disukainya. Mami Vin bukan seorang wanita yang bisa menjual tubuhnya pada sembarang lelaki, tetapi mau bagaimana lagi, beliau butuh uang untuk makan. Beliau menekan perasaan wanitanya demi sesuap nasi.

Sering kali beliau tidak dibayar oleh kliennya. Mami Vin rela tidak dibayar jika beliau benar-benar tertarik dengan kliennya tersebut. Sehingga walau tahu kliennya tidak punya uang, beliau tetap mau.

lha wong aku seneng…ngko ndak dijupuk yang lain, mending takjupuk ndhisik”(saya suka sih…nanti daripada diambil yang lain, mending saya ambil duluan)

Namun, bagaimana pun juga pandapatan yang beliau terima sebagao PSK tetaplah dirasa kurang, tidak jarang beliau tidak makan seharian.

aku tau lho ora mangan rong dina….”(saya pernah lho, tidak makan 2 hari….)

Bosan terhadap pekerjaannya, Mami Vin akhirnya memutuskan berhenti sebagai PSK dan mengakhiri kehidupan malamnya.

Say no to cigarette and alcohol

She didn’t smoking or drink.

Can you copy? She not! Lihat, ini membuktikan bahwa waria tidak berbeda dengan para manusia hetero. Menjadi waria tidak jelek to? toh, selama mereka juga hidup baik-baik seperti mami Vin. Mami Vin punya prinsip hidup yang jelas dan tegas. Beliau tahu rokok dan alcohol itu tidak baik bagi tubuh maka beliau tidak mau menyakiti tubuhnya.

Her freestyle of life

Mami Vin orang yang liberal. Beliau bukan orang yang hidup seperti katak dalam tempurung. Bukan orang yang berpikiran sempit. Walau pendidikannya rendah, beliau mempunyai pandangan-pandangan yang keren. Bahkan yang tidak dimiliki sebagian orang yang mengaku dirinya intelektual. Misalnya pandangan tentang agama, yang oleh sebagian orang dijadikan alat disintergrasi bahkan sampai memicu timbulnya perang, beliau malah menunjukan toleransi beragama yang luhur. Jilbab(pakaian muslim), walau beliau bukan orang muslim(beliau beragama catholic) beliau mau memakainya, bahkan sering. Beliau menyukai pakaian itu.

Jangan berpikir bahwa mami Vin suka gonta-ganti pacar. Selama ini, dia hanya pernah pacaran 3 kali. Masa pacarannya bisa dibilang cukup lama. Sekitar 1-5 tahun. Seperti yang saya katakana di atas, beliau orang yang libera. Beliau tidak terikat pada hubungan pacarannya itu, dalam artian, tidak ada ikatan dalam hubungan itu. Beliau cinta pacarnya, pacarnya pun cinta beliau. Hanya itu. Tidak dibikin rumit. Beliau menyatakan tidak ada pernikahan baginya.

“Waria itu ya begini, tidak ada pernikahan bagi waria”

Tetapi yang lebih penting, beliau menikmati hidupnya.

Bad experience with FPI and Pemuda Pancasila

Musuh waria adalah penentang mereka. Khususnya anggota FPI, mereka sering mengadakan razia terhadap para waria. Menagkapinya dan memukulinya. Sewaktu mami Vin bekerja sebagai PSK, mami sering melihat dan mendengar teman-temannya dipukuli FPI. Beruntungnya, mami Vin selalu lolos setiap ada razia oleh FPI.FPI itu font pembela islam yang menganggap waria melanggar hokum agama.

Sialnya, malah ketika beliau sedang libur dari pekerjaannya (PSK) karena sedang merasa lelah, ketika beliau sedang jalan-jalan di area sekitar kridosono, 2 orang pemuda menghapirinya. Beliau dipukuli dan dihajar sampai babak belur. Terakhir beliau mengetahui bahwa orang-orang yang memukulinya dari pemuda pancasila.

She caring to others

She tries to live in social.

Setelah memutuskan untuk berhenti sebagai PSK, mami Vin terjun ke dalam dunia social. Sekitar tahun 1990-an beliau active mengurusi kaumnya(waria). Beliau memperjuangkan nasib kaumnya. Di samping itu mami Vin juga ikut menggandeng anak jalanan. Beliau hadir sebagai ibu sebagai pamomong untuk anak-anak jalanan yang terlantar. Pertama, beliau mengakui, memang terasa berat, namun seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit, anak-anak jalanan mulai menerima keberadaannya.

“Mereka kan tidak mungkin mengacuhkan saya selamanya”

Dalam komunitas social ini mami Vin mulai menemukan tujuan hidupnya, arti dari kehidupannya, bahwa beliau bisa berkarya kepada bangsa. Bahwa potensinya diakui dan diperlukan. Beliau ingin membuktikan baik pada dirinya sendiri atau pun kepada masyarakat, bahwa dirinya mampu untuk berkarya bagi masyarakat, bahwa dirinya berguna. Bahwa waria bukan hanya dipandang sebagai sisi negative saja, tetapi waria juga punya potensi yang menungggu untuk dikembangkan dan disalurka. Beliau ingin diakui.

Merasa tertarik dengan anak jalanan, mami Vin memutuskan untuk focus hanya pada anak jalanan saja dan meninggalkan kiprahnya sebagai relawan PKBI yang mengurusi perjuangan kaum waria. Beliau tinggal dan berbaur dengan anak-anak jalan. Suka duka di sana. Mendengarkan keluhan mereka, menemani mereka, dan berusaha menjadi ibu yang mengayomi dan melindungi mereka. Hidup dengan segala permasalahan anak jalanan. Hal ini belangsung sekitar tahun1996-2006. selama 10 tahun mami Vin ikut merasakan penderitaan anak-anak jalanan.

Sekitar tahun 2006, mami memutuskan untuk kembali terjun mengurusi nasib waria di Yogyakarta. Bukan karena beliau sudah tidak tahan hidup bersama anak jalanan, beliau juga sedih dan berat hati untuk meninggalkan anak jalanan. Tetapi beliau memantapkan hati untuk memperjuangkan nasib kaumnya. Disebabkan ada beberapa teman warianya yang terkena HIV+, beliau merasa bertanggung jawab karena dulu pernah meninggalkan mereka. Beliau memutuskan untuk tinggal lagi bersama teman-teman warianya. Terutama yang mengidap HIV+. Meyakinkan bahwa HIV bukan hanya masalah kematian tetapi lebih menyangkut untuk merubah perilaku kita. Mami Vin terus menemani mereka, memberi semangat, dorongan, dan motivasi hidup.

Mengetahui betapa bahayanya penyakit itu, mami gencar melakukan penyuluhan dan seminar tentangnya. Bagaimana kita harus hidu dan melakukan hubungan secara sehat dan aman. Beruntung, ada lembaga dari luar negeri, yaitu UNAIDS dari Swiss, yang menberikan bantuan donator. Bersama beberapa temannya beliau mengenbangkan gerakan social ini sampai saat ini.Walaupun sulit ditambah sikap apatis dan dableg(susah diatur) baik dari kalangan waria sendiri. Mami terus berjuang bersama kawan-kawan hingga mencapai sukses seperti sekarang ini.

Mami dan kawan-kawan mendirikan KEBAYA(Keluarga Besar Waria Yogyakarta). Di sini beliau berusaha menfasilitasi para waria. Memupuk potensi mereka. Membuktikan bahwa para waria juga mampu da bisa berkarya dan tinggal bersama masyarakat.

She get the stars

Ya, saat ini mami Vin telah mencapai kesuksesannya. Berperan sebagai director di KEBAYA. Masalah keuangan bukan lagi menjadi halangan.

“Deposito saya banyak kok…”

Mami dipilih sebagai pemimpin bagi kaum waria karena memang sikap mami Vin yang baik, rendah hati, bersih atau tidak pernah membuat masalah, pendengar yang baik, pokoknya beliau bagai pengayom dan pamomong. Jujur ketika saya mewawancarai beliau, tampak sekali kerendahan hati, kejujuran, dan kebaikan hatinya. Meskipun sudah bisa dikatakan sukses, beliau tidak menjadi sombong atau tinggi hati. Beliau bangga terhadap dirinya, tetapi tidak menyombongkan diri. Kini beliau telah berhasil membesarkan beberapa anaknya (yang beliau angkat dari jalanan). Keluarga pun sudah bisa menerimanya.

sopo soh sing ra gelem karo aku?depositoku akeh kok…”(siapa sih yang tidak mau dengan saya?deposito saya bayak kok)

“Masa tua saya nanti banyak kok yang berebut mau merawat saya….”

Dengan keberhasilan mami Vin, keluarganya pun menerimanya. Mereka tidak lagi memandang ami sebagai aib bagi keluarga tetapi orang yang beruang banyak.

Meski sudah sukses, mami tida berhenti sampai di sini saja. Masih ada harapan yang disimpah dan diperjuangkan. Yaitu beliau ingin mengembangkan kantornya di Yogyakarta. Beliau ingin membuka cabang di beberapa tempat. Semoga sukses mami….

She didn’t lose Him

She still stands to herbelieving.

Masihkah kita bersyukur ketika penderitaan menerpa kita? Yes, she is. Beliau selalu bersyukur dan percaya pada Tuhan. Bahwa Tuhan selalu memberikannya yang terbaik. Beliau menganggap semua yang terjadi sudah menjadi perjalanan hidupnya. Apapun keadaannya, beliau berusaha menjalani dengan tabah. Jangan dikira waria tidak beragama. Look her! Beliau tetap teguh pada kepercayaanya tentang Tuhan. Beliau menyadari bahwa, beliau bisa sukse sekarang, tidak lepas dari recana Tuhan. Dalam segala kekurangan beliau masih bisa bersyukur. Mampukah kita? She is so amazing.

Church’s thinking bout them

Sebenarnya, apa sih yang memyebabkan masyarakat menolak waria? Kebanyakan orang melihat dari sudut agama. Kalau begitu apakah agama melarang kaum waria? Apakah agama menetapkan berdosa untuk kaum waria? Bukankah berdosa atau tidak itu yang menentukan adalah Tuhan sendiri? Sejak kapan manusia diberi kuasa oleh Tuhan untuk menyatakan bahwa seseorang itu berdosa. Seperti pernyataan dari mami Vin:

“Dosa itu kan urusan saya dengan Tuhan, bukan mereka”

Nah, untuk memperjelas pertanyaan di atas, saya juga telah mewawancarai seorang bruder, namanya bruder Yohanes FC, beliau tinggal di bruderan Caritas Nandan. Yah, karena mami Vin beragama catholic maka saya juga akan meyelaraskan aturan atau norma atau dogma religi yang sesuai dengan keyakinannya. Berikut pernyataan bruder yohanes yang berlandaskan alkitab(kitab suci agama Kristen)

Pertama harus jelas dulu bahwa Tuhan menciptakan manusia itu, laki-laki dan perempuan. Cari di kitab Kejadian.

Lalu yang namanya waria itu apa ?  Waria beda dengan homoseks. Waria itu ada gangguan identitas sebagai laki-laki atau perempuan. Ini menyebabkan orang berperan beda. waria( wanita pria) itu biasa juga disebut wadam (wanita adam) atau banci. Yaitu orang laki-laki yang sukanya pakai pakaian perempuan dan berdandan perempuan.

Beda dengan homoseks, yang kadang disebut gay. Ini orang yang tampil laki-laki sejati, tapi tidak tertarik dengan perempuan. Jadi ia tertarik dengan sesama laki-laki. Baca Kejadian 19: 1 dst.

Yang waria itu, karena ia selalu berdandan perempuan, ia merasa diri sebagai perempuan. Kelakuannya juga keperempuanan. Ia ingin jadi perempuan. Oleh karena itu, orang waria ada yang operasi kelamin menjadi perempuan. Memang dalam operasi itu, tidak ada indung telurnya, tetapi hanya ada semacam vagina saja. Tetapi karena itu dari jaringan kelamin, ya tentu punya syaraf-syaraf sensitif juga. Tetapi waria yang operasi kelamin tetap tidak bisa punya anak karena tidak ada sel telurnya.

Gereja menerima dan menghormati keputusan para waria seperti mami Vin yang ingin menjadi seorang wanita. Mereka para wanita yang terperangkap dalam tubuh pria.

Tetapi tentang operasi kelamin seorang waria menjadi perempuan, sejauh itu jalan terakhir dan dianggap terbaik oleh si waria, Gereja Katolik tidak berkeberatan. Dan biasanya, setelah operasi secara hukum statusnya diganti dipengadilan menjadi perempuan. KTP juga diubah jadi perempuan berdasar surat pengadilan. Hal ini menunjukan bahwa gereja tidak menentang operasi kelamin bagi para waria, karena mereka ingin menjadi wanita sejati. Operasi kelamin itu sah-sah saja.

Nah, kalau sudah demikian, waria sudah berubah menjadi perempuan. Bila akan menikah, karena pernikahan itu laki dan perempuan, maka tentunya akan diberi dispensasi. Karena perkawinan menurut Gereja Katolik juga mempunyai fungsi reproduksi atau kelahiran anak-anak. Meski kalau tidak ada anak, perkawinan laki dan perempuan sah dalam Gereja Katolik.

Gereja catholic menghormati dan menerima waria karena melihat bahwa mereka memang seorang wanita dengan sifat dan perasaan mereka. Namun sekali lagi, berdosa atau tidak itu semua Tuhan yang menentukan.

Who is she in her environment?

Saya juga sempat mewawancarai seorang warga sekitar walau hanya sedikit. Di lingkungan mami Vin dikenal baik dan ramah pada warga sekitar. Seperti dengan warga lainnya. Tidak ada masalah dengan mami Vin. Warga menerima keberadaannya. Semuanya baik-baik saja. Bahkan mami Vin active mengikuti sembayangan (ibadat catholic yang diadakan di rumah-rumah warga) serta ikut koor ibu-ibu. Tidak perlu takut untuk menerima waria untuk tinggal dan hidup di sekitar kita, mereka sama seperti warga lainnya. Tidak perlu untuk ditakuti. Mereka menghargai dan menghormati kita, kenapa kita tidak??

PENUTUP

Demikianlah sekilas tentang perjuangan hidup seorang Mami Vin. Directur Keluarga Besar Waria Yogyakarta. Walau penuh dengan penderitaan dan tantangan hidup beliau tidak meyerah. Keberanian, keteguhan, ketabahan, dan semangat juang pantang putus asanya telah membawa beliau hingga sukses seperti sekarang. Di mulai dari nol hingga kini beliau dapat duduk di kursi directurnya. Mengingatkan kita kembali bahwa tidak ada sukses yang tanpa perjuangan. Hidup itu adalah sebuah perjuangan. Sungguh suatu kehidupan yang berarti. Di mana beliau lebih banyak berkarya untuk orang lain ketimbang untuk dirinya sendiri. Di mana dalam segala kelemahan dan kekurangannya, beliau masih memikirkan orang lain. Perjuangan untuk kaumnya, perjuangan untuk anak-anak jalanan, juga untuk masyarakat luas khususnya dalam upaya atau resolusinya untuk pencegahan AIDS.

Sebuah pembuktian diri. Pembuktian kepada masyarakat luas bahwa menjadi waria tidaklah suatu hal yang buruk. Bahwa waria juga dapat berguna dan berkarya selama diberi kesempatan dan tempat untuk mengembangkan serta menyalurkan semua potensi dirinya. Tidak kah cukup bukti bagi kita untuk mengakuinya? Sudah berapa banyak waria yang mengeksitensikan dirinya? Lihatlah bunda Dorce, mami Vin, dan masih banyak lainnya. Betapa ketika kita ke salon dan kita sering menjumpai waria bekerja sebagai karyawan salon, bukankah mereka cukup kompeten? Just give them place and change.



et cetera