Luciatriedyana’s Weblog











PEMILU 2009

Fenomena actress/actors Berebut Kursi Wakil Rakyat

 

Disusun oleh:

Lucia Tri Ediana P.J. / 03568

 

FAKULTAS ILMU SOSIAL dan ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2008

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1                      Latar Belakang Masalah

Di dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan diperlukan wakil-wakil rakyat sebagai pemimpin. Untuk menghasilkan pemerintahan yang berhasil, para pemimpin dituntut memiliki kompetensi yang unggul baik skills maupun mental.

Berdasarkan realita yang ada selama ini, kami menilai pemerintahan di Indonesia belum bisa dikatakan berhasil 100%. Mungkin rakyat kurang berpartisipasi tetapi kami sependapat bahwa pemerintah lah yang mempunyai tanggung jawab lebih terhadap bobroknya system pemerintahan di Indonesia. Sudah cukup panjang daftar pejabat-pejabat atau petinggi-petinggi Negara yang menyalahgunakan kekuasaan dan merugikan Negara. Apakah daftar itu akan terus semakin bertambah panjang? Di sini lah alas an mengapa Negara membutuhkan kader yang berkompeten baik secara skills dan mental.

Menyonsong tahun 2009, Negara disibukan dengan pemilu. Tidak hanya untuk presiden dan wakil presiden tetapi juga di DPR, DPRD, serta pemilu di daerah-daerah untuk memilih bupati dan walikota. Ada pemilihan umun tentu saja harus ada calon yang dipilih bukan?Nah, menyingkapi kaderisasi di dalam tubuh parpol-parpol di Indonesia, masyarakat dikejutkan dengan munculnya kader-kader dari kalangan actress/actors . Menjadi controversial karena menuai banyak pendapat di kalangan masyarakat.

 

 

 

 

1.2                      Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam paper ini adalah :

 

1.      Mengapa actress/actors berbondong-bondong ikut pemilu 2009?

2.      Bagaimana partai melakukan kaderisasi?

 

1.3                      Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apakah seorang actor mampu menjadi wakil rakyat yang mengayomi rakyatnya.

 

1.4                      Manfaat Penelitian

Manfat yang dapat diperolah dari penelitian ini antara lain :

a.       Mengetahui, menganalisis serta mempelajari lebih jauh fenomena politik yang sedang berlangsung sehingga kita tidak mudah ikut terseter arus tetapi mampu menyingkapi dan menjelaskannya berdasarkan analisis teoritis.

b.      Dapat menjadi penelitian awal yang dapat dikembangkan oleh peneliti selanjutnya.

 

 

 

 

 

 

BAB II

Landasan Teori

 

          2.1 Landasan UUD

                        Pasal 22E

(1)  Pemilihan  umum  dilaksanakan  secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

(2)  Pemilihan  umum  diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(3)  Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

(4)  Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

(5)  Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

(6)  Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

Pasal 28D

(3)  Setiap  warga  negara  berhak  memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pasal 28J

   (1)  Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

   (2)  Dalam  menjalankan  hak  dan  kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal 67 ayat 1 dalam UU 12 tahun 2003

Calon anggota legislative merupakan hasil seleksi secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.

Selebihnya, mengenai pemilu diatur dalam undang-undang pemilu yang baru yaitu UU No. 10 tahun 2008

            2.2 Pengertian PEMILU

Sistem Pemilu dalam Ilmu Politik adalah satu kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih wakil mereka.

Proportional Representation (PR) System

Menurut Arend Lipjhart, system PR adalah system pemilihan yang paling banyak digunakan oleh Negara-negara yang pemilunya berlangsung demokratik dan kompetitif. Dalam system ini, proporsi kursi dimenankan oleh sebuah parpol dlm sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dgn proporsi suara yg diperoleh partai tersebut dalam pemilihan.

Sistem PR dengan “daftar terbuka (open list system”) 

    Dalam system ini, para pemilih memilih partai & calon yg dikehendaki. Para pemilihlah yg lebih menentukan calon mana yg dikehendaki dan calon mana yg ditolak. Peranan pimpinan partai sangat terbatas.

Electoral Threshold adalah jumlah minimum dukungan yang harus diperoleh seseorang atau sebuah partai untuk memperoleh kursi di lembaga perwakilan

 

            2.3 Fungsi Parpol dalam Rekrutment Politik

Salah satu fungsi parpol adalah merekrut warganegaranya dalam peran-peran khusus. Disini lah parpol-parpol melakukan kaderisasi sedemikian rupa untuk mencalonkan kader-kader yang mampu bersaing dengan parpol-parpol lainnya dalam memperebutkan peran-peran politik(baik di parlemen, kementrian dan cabinet, serta pemerintahan daerah).

2. 4 John Corner dan Dick Pels dalam “Media and The Restyling of Politics”(2003)

Dalam relasi politik dewasa ini faktor konsumerisme dan selebritas berjalan seiring yang acap kali pada akhirnya menimbulkan sinisme, bahkan apatisme, pada politik formal. Baik politikus ”bermoral” maupun ”tidak bermoral” sama-sama bertarung menggunakan panggung komunikasi media yang sama untuk memperebutkan perhatian publik.Dalam situasi di mana struktur relasi politik direduksi dalam format yang lebih ”pop”, ada bahaya bahwa visi dan ideologi parpol turut pupus bersama tujuan-tujuan pragmatis jangka pendek.

 

 

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

 

3.1 Human Right

Setiap orang mempunyai hak untuk memilih dan dipilih seperti yang diatur dalam undang-undang. Jadi, menyingkapi fenomena actress/actors       maju jadi kader politik, hal itu sah-sah saja. Tidak ada hukum yang melarang, karena hal itu adalah hak setiap warga negara. Setiap orang bisa mencalonkan diri, baik actress/actors, PNS, dosen, bahkan tukang bakso pun bisa. Bagaimana bisa seseorang mencalonkan diri sebagai kader politik? Tentu saja ini berkaitan erat dengan proses rekrutmen parpol. Dalam beberapa kasus memang ada yang mencalonkan secara perseorangan, namun hal itu tidak luput dengan ketentuan jumlah dukungan dan lain sebagainya seperti yang diatur dalam undang-undang. Sehubungan dengan kasus actress/actors ini adalah kaderisasi dari parpol, maka di sini proses rekrutmen internal parpol lah yang menentukan. Sesuai pasal 67 ayat 1 dalam UU 12 tahun 2003, dijelaskan bahwa rekrutment adala proses internal partai(menurut demokrasi dalam partai tersebut). Jadi merupakan hak partai untuk menentukan siapa calon yang diajukan, dan bersifat tertutup. Merupakan hak parpol untuk merekrut actress/actors. So, did this phenomena is correct? Yes, definitely. Tidak ada masalah bagi mereka untuk mencalonkan diri selama sesuai dengan prosedur (diperiksa oleh KPU). Hal itu sudah diatur dalam undang-undang. Tetapi tentu saja tidak asal mencalonkan diri saja, kita harus tahu dan sadar cukup qualifying kah kita jadi pemimpin? Jangan sampai cuma jadi badut politik saja. Mereka juga harus mempertimbangkan pengetahuan politik yang mereka punya. Sudah cukupkah pengalaman politik mereka? Atau malah mereka sama sekali tidak punya license politik sama sekali tetapi terkena gejala over-confidence. Kalau mereka bisa membuktikan bahwa mereka mampu dan berkualitas, tentu saja kami mau mendukung. Seperti Wanda Hamidah misalnya, yang walau actress tetapi dia juga aktif di salah satu parpol (PAN). Ada juga Marisa Haque yang meski cukup capable tetapi terbentur masalah pendukung sehingga kalah di pilkada kemarin namun dipastikan bakal maju lagi tahun ini. Bagi para caleg(dari kalangan actress/actors pada khususnya) kalau merasa diri tidak mampu mewakili suara rakyat yang memilih anda dan memuaskan aspirasi mereka dengan melakukan kinerja yang berarti, janganlah maju! Bagi para rakyat jangan cuma termakan popularitas para actress/actors tetapi kita juga harus melihat dan mempertimbangkan dapat kah mereka memimpin kita. Bagaimana pun juga kita lah yang menentukan, dan apa(lebih tepatnya siapa) yang kita tentukan akan mempengaruhi kehidupan kita sebagai rakyat. Makanya kita harus selektif memilih karena kita tidak mau kan kalau keadaan Negara kita tambah kacau dan rakyat semakin menderita. Hal itu akan kita sesali kalau sampai terjadi. Kabar baiknya, kami kira para rakyat Indonesia sudah dapat menentukan sendiri pilihannya dan tidak tergoda popularitas para actors.

 

3.2 Track record

Di sisi lain, masyarakat tidak sepenuhnya mudah terbujuk oleh wajah para actress/actors yang dipasang partai. Masyarakat tampaknya semakin jeli memerhatikan perkembangan berita tentang actress/actors. Tidak semua artis diterima masyarakat dan dipilih untuk jadi wakil merekaa. Hanya para actress/actors yang dianggap memiliki pengetahuan politik dan sungguh-sungguh terjun sebagai kader partailah yang didukung oleh masyarakat Indonesia. Sebaliknya, mereka enggan untuk memilih actress/actors yang tidak pernah diketahui memiliki track record sebagai kader partai yang kompeten.

Bukti gagal terpilinya Saiful Jamil sebagai wakil  bupati serang menunjukan bahwa rakyat tahu mana yang berkompeten mana yang tidak. Jujur, dilihat dari pengalaman Saiful yang bisa dibilang kurang memadai, beliau juga pernah menyatakan statement “ saya akan nyanyi dangdut untuk menghibur rakyat yang sedang kesusahan ” di beberapa infotainment beberapa waktu lalu.  Did his statement show that he is capable? I guess not! Bisakah beliau mengurusi Negara? Sayang sekali, banyak yang meragukan. Terima kasih untuk warga Serang untuk tidak memilih dia. Tidak dapat kami bayangkan bagaimana Serang di bawah kepemimpinannya, banyak orang yang berpendapat akan hancur. Akan tetapi, di sini memang ‘Bung’ Jamil yang terlalu percaya diri, tapi apakah Partainya yang tidak kelewatan menunjuk kader yang tidak berkompeten sepertinya?Apakah dalam partainya memang sudah tak ada lagi kader yang berkompeten?Sampai harus memakai actress/actors segala (kami setuju kalau actornya berkompeten), tetapi yang kami pertanyaakan di sini, dengan jumlah anggota partai yang cukup besar, masa tidak ada satu pun kader(dalam parpol) yang pantas dimajukan dan harus menggaet di luar parpol. Kalau memang hanya sedikit kader yang berkarisma dan punya kemampuan, lalu anggota partai yang banyaknya minta ampun itu apa?Kalau memang anggota parpol sendiri sudah tidak dipercayai untuk diajukan atau dianggap tidak bisa terjun ke kancah politik, lalu anggota parpol itu untuk apa?Gunanya apa ‘sih’?Buat apa didirikan parpol kalau tidak punya kader yang berkompeten sampai harus melakukan kaderisasi di luar partai? Kalau parpol sendiri tidak percaya pada kader internalnya sendiri apa kami para rakyat bisa percaya? Ataukah mereka hanya akan mencetak pejabat-pejabat baru yang menambah daftar panjang koruptor? Tetapi terlepas dari itu, tidak ada masalah dengan layak dan tidak layak, karena hal ini cuku relative. Bagi kami Saiful Jamil tidak layak akan tetapi sebaliknya PPP berpikiran bahwa yang paling layak adalah dia. Toh, pada akhirnya malah meramaikan suasana politik meski akhirnya beliau tetap tidak terpilih. Jadi tidak ada masalah dan kami tidak ingin membahas apakah layak atau tidak actress/actors menjadi wakil rakyat, seperti kami katakan tadi, itu relative. Undang-undang tidak melarang. Selama berkemampuan kenapa tidak?

 

3.3 Popularitas

Ataukah alasan sebenarnya mereka memakai actors/actress adalah karena sekedar men-dompleng popularitas saja? Karena kehilangan pamor dan kepercayaan rakyat mereka beralih pada para public-figure?Itukah cara terakhir mereka untuk mendapat simpatisant rakyat? Yah, wajar saja, para super stars memang terkenal, sering muncul di infotainment, dan juga mempunyai banyak fans. Kebanyakan orang memang lebih hafal dan tahu wajah para bintang film ketimbang wajah para pejabat. Bahwa actors/actress lebih dekat di hati rakyat ketimbang para wakil rakyat yang seharusnya dekat dengan rakyat. Mengingat fakta bahwa rakyat sudah kurang berminat terhadad pemilu dan politik, berkurangnya simpati dari rakyat, dan rakyat yang juga sudah mulai apatis atau tidak percaya dengan pejabat pemerintahan, sudah sewajarnya mereka mulai merekrut para idola rakyat di layar TV. Berharap para idola tersebut mampu menarik banyak simpatisan (terutama dari kalangan fans) yang mendukung partainya. Lalu pertanyaanya, mengapa para actors/actress itu menyambut baik bahkan amat sangat tertarik untuk beramai-ramai meramaikan kancah politik? Mengapa mereka tergiur untuk terjun ke dunia politik?

 

3.4 Kaderisasi lemah

Sebagaimana dinyatakan oleh John Corner dan Dick Pels dalam “Media and The Restyling of Politics” (2003), dalam relasi politik dewasa ini faktor konsumerisme dan selebritas berjalan seiring yang acap kali pada akhirnya menimbulkan sinisme, bahkan apatisme, pada politik formal. Baik politikus ”bermoral” maupun ”tidak bermoral” sama-sama bertarung menggunakan panggung komunikasi media yang sama untuk memperebutkan perhatian publik.Dalam situasi di mana struktur relasi politik direduksi dalam format yang lebih ”pop”, ada bahaya bahwa visi dan ideologi parpol turut pupus bersama tujuan-tujuan pragmatis jangka pendek.

Bisa dilehat dalam proses kaderisasi parpol yang marak merekrut kader dari luar parpol. Bukannya merekrut kader berkualitas dan berkharisma, tampaknya parpol lebih suka merangkul sosok yang memiliki daya tarik popularitas yaitu pencalonan actress/actors untuk dijagokan sebagai caleg ataupun wakil partai di pemerintahan. Beberapa partai besar seperti Partai Amanat Nasional (PAN), menggaet 33 artis(yang kemudian mendapat julukan Partai Artis Nasional), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 10 artis, dan Partai Golongan Karya (Golkar) merekrut 10 artis. Latar belakang keartisan beragam, mulai dari pemain film, pembawa acara, penyanyi, hingga pelawak. Jujur, bukannya menaikan respect dari para simpatisan mereka malah memperparah citra mereka di mata kami.

Alasan yang dikemukakan berbeda-beda. Jika Partai Golkar merasa harus ada wakil seniman untuk mengurusi persoalan seni dan budaya, maka PAN merasakan perlunya artis untuk membawa perubahan. Hanya PPP yang secara gamblang lewat beberapa media dan infotaiment mengakui kehadiran actress/actors dalam bursa pencalonan ditujukan untuk mendongkrak perolehan suara partai.Padahal, seharusnya kaderisasai itu murni tugasnya parpol,yah walau mereka bebas menentukan calonnya masing-masing tetapi mereka harusnya sadar bahwa yang mereka pilih itu bukan untuk kepentingan parpolnya sendiri(memperbesar Electoral Threshold ) tetapi untuk kepentingan rakyat sesuai dengan tugas mereka sebagai pembawa aspirasi rakyat.Melalui kaderisasi yang benar-benar berkompeten diharapkan nasib bangsa ini bisa diselamatkan. Hak dan aspirasi rakyat diperjuangkan. Negara kita sudah cukup buruk kondisinya. KKN di mana-mana, pemerintah bukan lagi membela rakyat tetapi lebih kepentingan kelompok atau individu mereka. Terakhir, di beberapa berita di media electronik, mungkin juga dimuat dalam media cetak, para anggota legislativ kita lebih mengusahakan kenaikan tunjangan komunikasi lebih dari 200% di tengah krisis ekonomi, kemiskinan dan kelaparan yang melanda rakyat Indonesia. Fenomena ini menunjukkan sebagian partai politik justru sibuk mencari figur populer di luar kader internal sebagai sarana meraih suara dan memperbesar jumlah kader mereka dalam kursi-kursi pemerintaha. Apakah mereka hanya ingin kemenangan? Tidakah mereka ingin memperbaiki keadaan pemerintahan negara kita? Bukankah seharusnya paropl-parpol harus lebih selective dan lebih bertanggung jawab untuk tidak lagi menambah jumlah badut politik yang bukannya memperjuangkan dan memperbaiki nasib bangsa malah memperburuk keadaan atau malah merugukan rakyat. Negara kita ini sedang kritis, tidak bisakah para parpol lebih peduli pada rakyat? Yah, sepertinya kita telah kehilangan fungsi parpol sebagai pembawa aspirasi rakyat tetapi lebih sebagai pembawa aspirsi kepentingan partainya sendiri. Unfortunately, they lose our simpaty.               

 

            3.5 The reason is….

Maraknya budaya politik dari para super star ini tentunya menuai banyak opini di kalangan public. Banyaknya cercaan dan komentar dari semua orang mungkin itu suatu bentuk tuntutan yang ditunjukan bagi mereka yang nanti akan duduk di kursi kepemimpinan. Sebenarnya apa ‘sih’ yang menyebabkan mereka ingin jadi wakil rakyat??apa job di dunia hiburan sudah tak lagi mencukupi???Memangnya job di dunia politik jauh lebih besar dari job main sinetron???Bukannya actors/actress itu penghasilannya sekali manggung lebih banyak daripada jadi wakil rakyat selama sebulan? Kebanyakan actress/actors itu cepat kaya rayanya. Sementara wakil rakyat kalo tidak korupsi ya susah plus lama. Bukannya gaji wakil rakyat kecil ‘sih’ tetapi jauh lebih kecil dibanding penghasilan para super star yang sekali manggungnya bisa berjuta-juta bahkan berpuluh-puluh juta. Ok, memang penghasilan mereka tidak tetap, tetapi mereka kan bisa mencoba untuk melakukan investasi sesuatu yang menjanjikan dan tentunya mempunyai keuntungan yang besar. Jauh lebih menghasilkan uang ketimbang menyandarkan hidup dengan gaji pegawai. Lalu apa ‘dong’ motivasi mereka terjun ke dunia politik??? Kekuasaan? Apakah mereka membutuhkan kekuasaan? Apakah mereka jadi tertarik dengan yang namanya power seperti para politikus yang gila kekuasaan? Atau mereka ingin menjadi Arnold Schwarzneeger (actor terkenal amerika yang jadi gubernur California) di Indonesia? ‘Should I be an actress first before I jump into the dirty politics area?’

Yah, mengingat pilkada dengan upayanya menarik massa sebagai simpatisan cukup untuk menjadi ajang menaikan nama mereka. Bagi mereka yang sudah dilupakan di dunia hiburan, ini dapat sebagai ajang untuk naik daun lagi. Terlepas dari dipilih tidaknya mereka. Bila berhasil, maka mereka dapat duduk tenang dan bangga dengan posisi mereka dalam pemerintahan. Bila kalah, nama mereka di dunia hiburan cukup melambung dan bisa mempermudah mereka untuk mendapatkan job. Jadi, ini merupakan ajang bagi para actors/actress untuk menciptakan dan menaikan kepopularitasan mereka kembali.

Seperti yang kami bilang tadi, bisa dibilang penghasilan atau pendapatan mereka di dunia hiburan tidak tetap. Padahal pengeluaran mereka untuk mencukupi kebutuhan hidu malah semakin meningkat. Nah, menjadi persoalan kalau kepopularitasan mereka malah semakin berkurang dan job yang mereka dapatkan juga semakin minim. Bagai mendapat buah simalakama, tawaran untuk menjadi kader parpol tentu saja mereka sambut baik. Yah, iseng- iseng selagi ada yang menawari, cari muka, cari sensasi, menaikan popularitas.Lumayan kan? Setali tiga uang.

BAB IV

KESIMPULAN

 

Menyingkapi fenomena atau trend politik seputar maraknya actress/actors yang pindah haluan terjun ke dunia politik, dapat kita kaji lebih dalam apa maksud atau alasan baik bagi parpol yang mencalonkan maupun dari pihak actress/actors sendiri.

Menjelang pemilu, parpol-parpol bisa dibilang cukup pusing memikirkan bagaimana cara menarik banyak simpatisan untuk mendukung mereka. Mereka bukan lagi mengedepankan aspirasi rakyat sebagai tujuan utama mereka namun kepentingan kelompok. Semata-mata untuk memperoleh jumlah kursi yang banyak di pemerintahan. Sementara rakyat sudah mulai apatis atau mulai tidak percaya pada pemerintah. Apresiasi rakyat bisa dibilang kurang. Tidak ada gairah lagi untuk berpartisipasi dalam politik atau pemerintahan. Mengingat sudah cukup banyak rakyat dikecewakan. Sudah cukup panjang daftar pejabat yang merugikan rakyat.

Mengangkat actress/actors sebagai kader tentu merupakan solusi yang cukup praktis dan menguntungkan. Apalagi figure mereka jauh lebih melekat di hati mereka ketimbang kader internal sendiri. Kaderisasi untuk pemilu atau pilkada bukan lagi seputar bagaimana menentukan kader yang kompeten, andal, berkharisma, baik secara mental maupun skills, tetapi lebih untuk bagaimana menentukan kader yang lebih banyak menarik simpati rakyat. Apalagi actress/actors dikenal punya fans. Disinilah kami mengatakan bahwa kaderisasi di dalam parpol mulai melemah dan kehilangan arah. Actress/actors yang ditawari pun tentu tergiur dengan jabatan politik dan penghasilan tetap yang ditawarkan. popularitas juga bisa menjadi alasan mereka mencoba ikut pemilu atau pilkada. Mendongkrak popularitas yang mulai pudar, cari sensasi, semata-mata ,mengingatkan masyarakat bahwa mereka exist di layar kaca. Yang jelas mencoba peruntungan bagi karir mereka. Berhasil syukur, gagal juga ‘toh’ nama jadi beken lagi.

Namun sekali lagi tidak semua actress/actors yang maju itu tidak kompeten atau tidak ada background politik sama sekali. Ada juga actress/actors yang cukup pantas untuk dipilih. Oleh karenanya kita harus selektiv memilih. Dan tidak semua actress/actors mau dicalonkan. Ada juga yang menolak karena mereka cukup sadar diri akan pengalaman serta ketidakmampuan mereka di dunia politik

DAFTAR PUSTAKA

 

Modul Pengantar Ilmu Politik semester Gasal Tahun Ajaran 2008/2009 Universitas Atamajaya Yogyakarta

UUD 1945 dan Amandemennya (2006)

Najib, Mohammad. Pemilu 2004 dan Eksperimentasi demokrasi. 2005. Yogyakarta:Komisi Pemilihan Umum DIY.

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/27/index.html

http://layar.suaramerdeka.com/index.php?id=318

 



et cetera