Luciatriedyana’s Weblog











{October 31, 2008}   penderitaan kaum kristen irak

*Lets PRAY for them.

BIARAWATI YANG MEMBANTU KAUM BAWAH TANAH KRISTEN IRAK*

Kristen Assyria IRAK – kaum yang paling menderita dalam perang Iraq ini.
Gereja-gereja mereka diBOM, perempuan-perempuan dan anak-anak
diperkosa, disalib, dicincang, ditembak mati dan mayat-mayat mereka d
ilempar ke tempat penimbunan sampah, bahkan uskup besar mereka
baru-baru ini diculik dan ditembak mati. Bisa dilihat semua korban
Pemboman Gereja di Irak di: http://www.christiansofira q.com/bombed. html

“Begitu Saddam jatuh, muslim-muslim fanatik mulai mengirimkan kami
surat-surat ancaman agar kami MASUK ISLAM atau meninggalkan negeri ini
atau ‘bersiap-siaplah untuk mati.’ Suatu hari, orang-orang bermasker
menyerang rumah kami, mengikat suami saya dan SATU PER SATU MEREKA
MEMPERKOSA SAYA DIDEPAN SUAMI SAYA. Setelah insiden itu kami
memutuskan untuk kabur dari tanah kami yang sudah dihuni kaum kami
huni selama 2000 tahun ini,” demikian kesaksian salah seorang korban.

Perang Iraq membawa penderitaan yang tidak dapat dibayangkan, berjuta
cerita berbeda tentang kesedihan, kekerasan, dan pengasingan.
Namun dalam perang ini, tindakan keji yang jarang diucapkan adalah
tindak pidana PEMERKOSAAN. Dan bagi kaum KRISTEN IRAK, k
husunya, ini sebuah kisah yang saking seringnya terulang sampai tidak l
agi dapat diacuhkan. Tetapi, tragisnya untuk banyak wanita yang
mengungsi, penderitaan mereka tidak berakhir di perbatasan.

Sekitar 13.000 pengungsi Kristen Irak kini berada di Turki, termasuk
7.000 orang di Istanbul, di kawasan-kawasan yang paling miskin,
di gedung-gedung atau lantai-lantai bawah tanah yang tidak layak huni,
tidak memiliki saluran air atau tingkat higiene memadai.

Kamar-kamar bawah tanah ini basah, bau karena mereka berada dibawah
saluran air. Mereka sendiri tidak memiliki toilet. Lebih dari 80 orang per
kamar(bawah tanah) hidup, masak dan makan, menggali lubang-lubang
untuk buang air. Memang baunya busuk, tetapi mereka tidak memiliki
pilihan; pulang kembali ke Iraq sama saja dengan bunuh diri.

Akomodasi mereka dikuasai oleh gang-gang kriminal, yang menuntut uang
sewa US$50/¡ò24 per orang (termasuk anak-anak) per bulan. Mereka yang
tidak dapat melunasi, akan dilempar ke jalanan. Karena mereka pengungsi
ilegal, mereka tidak dapat mencari pekerjaan ataupun berjalan keluar
karena karena mereka akan ditangkap polisi atau – lebih parah lagi –
dikirim kembali ke perbatasan (Irak).

Beberapa wanita menemukan pekerjaan sebagai pembantu dimana mereka
dibayar dengan upah yang minim termsuk juga gangguan, penganiayaan,
dan bahkan pelecehan. Jika mereka melapor KEPADA polisi, mereka akan
dilempar ke penjara. Mati kelaparan atau menderita penyakit merupakan
hal yang lumrah.

NAMUN Sister Hatune — yang kini mendapat julukan Ibu TERESA dari
IRAQ — merupakan salah seorang malaikan penyelamat. Yayasan Sister
Hatune yang bermarkas di India, dengan cabang-cabang di Eropa dan AS,
didirikan tahun 1992 untuk membantu mereka yang tuna wisma, b
erpenyakitan, korban2 tragedi alam dan pengungsi2 yang ditekan k
arena agama mereka. Lahir di Turki Tenggara, dari sisa2 penduduk
Assyria.
<www.sisterhatunefo undation. com/iraq. htm>

Ia tadinya bertugas di India di tahun 90an, namun karena perang Irak
dan exodus Kristen, ia kini mengalihkan perhatiannya ke saudara-saudara
Kristennya tersebut. Sekitar 3.5 juta pengungsi Iraq terdapat di
negara-negara tetangga, termasuk 2.2 juta di Syria dan 750.000 di
Yordania. Namun yang paling menyedihkan adalah nasih sekitar 600.000
Kristen Irak.

Kunjungan Suster Hatune, dimana ia memberikan Uang dan Pakaian,
disebut-sebut sebagai bantuan perpanjangan dari Tuhan (Yesus tentunya,
bukan yang lainRed)

“Memang menyedihkan melihat ibu-ibu kurus ini mencoba keras menyusui
anak-anak mereka,” katanya. “Kelaparan memang hal yang sangat berat
bagi manusia dan banyak ibu-ibu terpaksa menjual diri mereka bagi
sandang dan pangan. Saya ketemu banyak keluarga yang dengan rela m
enjual diri mereka demi sepotong roti.

Suster Hatune, seorang yang lembut, dan murah senyum dengan aksen
antara timur tengah dan eropa tengah, telah dapat membuat para
gadis-gadis untuk berbicara bebas mengenai penderitaan mereka.
Beberapa cerita, melibatkan Gadis dibawah umur, sangat-sangat
mengerikan untuk diberitakan. Banyak Gadis-gadis kecil dan Wanita
dewasa mempunyai banyak luka memar di sekujur tubuh mereka.
Untuk keamanan, nama mereka tidak dicantumkan.

Helena adalah sebuah contoh khas. Sebelum perang, ibu berusia 47 tahun
ini, anggota gereja Assyria, tinggal di Baghdad dengan suaminya yang
bekerja SEBAGAI tukang listrik, ibu mertuanya dan kedua puterinya
berusia 18 dan 7 tahun.

Setelah jatuhnya Bagdad bulan April 2003, militan-militan Islam memulai
kampanye teror mereka. Pertama, mereka mengirim surat ancaman kepada
keluarga-keluarga Kristen, meminta mereka memeluk Islam atau
meninggalkan negara (Irak). Surat-surat itu tidak digubris oleh keluarga
tersebut (Keluarga Helena). Tapi suatu hari, didepan rumahnya suaminya
dihujani peluru dari senapan mesin saat pulang kerja. Dua minggu
setelah pembunuhan suaminya, Helena menerima surat lainnya dan
mengontak seorang penyelundup. Mereka terpaksa melarikan diri ke
Istanbul, dimana mereka tinggal di sebuah kamar bawah tanah dengan
40 pengungsi Kristen lainnya. Mereka tidak membawa satu barangpun
yang mengingatkan mereka pada hidup mereka dulu yang makmur itu.

Beberapa minggu setelah ketibaan mereka di Istanbul, seorang mucikari
setempat menawarkan mereka uang SEBAGAI GANTI PUTERI TERTUA
MEREKA.

“4 hari dalam keadaan sangat lapar memaksa keluarga itu MENJUAL
PUTERI MEREKA untuk satu malam KEPADA SEORANG MUSLIM KAYA.”
kata Suster Helena.

Suster Hatune dengan gadis Kristen Irak 9 tahun yang diperkosa secara
brutal

Keesokan harinya, sang gadis 18 tahun itu kembali ke rumah mereka
dengan bekas-bekas luka pada tubuh dan pikirannya. “Pelaku sadist itu
menyundut tubuhnya dengan rokok.” (Kata Suster Hatune) Ia mencoba
bunuh diri. Keluarganya tidak bisa melakukan apapun kecuali menangis
dan berdoa.

Setiap keluarga di Camp pengungsian mempunyai cerita-cerita tersendiri.
Cerita Ibu Salam juga tidak kalah tragis. Wanita 27 tahun itu tiba di
Turki bulan Agustus lalu dari Mosul. Ibu dua anak – usia 4 tahun & 18
bulan – seperti umumnya keluarga Kristen lain, hidup nyaman dengan
suami yang bekerja pada perusahaan minyak. “Kami termasuk kaya,
punya rumah dan mobil dan hidup dengan damai dibawah periode Saddam
Hussein,” katanya. Ia DIPERKOSA RAMAI-RAMAI didepan suaminya
dan hanya berhasil kabur dengan bantuan gang penyelundup,
sambil menyamar dalam busana Muslim.

Kristen Irak di Istanbul; tadinya kaya, kini melarat, tersiksa,
dilecehkan, hidup sebagai pengungsi dan tergantung dari sumbangan

“Kami membawa seluruh barang-barang berharga dan Uang kami saat kami
meninggalkan rumah. di jalan, kami bertanya pada penyelundup berapa
banyak kami harus membayar untuk pergi ke Turki.” Ia berkata,
“Apa saja yang kau punya, itu adalah biayanya/ongkosnya” . Saat kami
sampai dekat perbatasan Turki, dia dan anggota gengnya menggeledah
tubuh kami dan harta kami dan mengambil seluruhnya. Ada juga keluarga
lain bersama kami, dan nasib yang sama menimpa mereka.

“Ketika kami dibiarkan begitu saja di Turki, seluruh harta kami yang
tersisa dikuras oleh penyelundup. Satus-satunya harta yang masih kami
punya adalah baju-baju pada tubuh kami. Bahkan cincin emas saya (yang
didapatkan dengan memohon-mohon) sudah saya jual untuk sepotong roti.”

Sebagai korban pemerkosaan, Ibu Salam sulit menerima keadaannya ini.
“Saya malu memandang orang lain. Mereka kenal saya, mereka juga tahu
bahwa saya diperkosa. Saya tidak dapat menceritakan perasaan saya
pada orang saya. Kadang saya merasa tidak lagi sanggup hidup.”

“Tetangga-tetangga Muslim kami pun berbalik memusuhi kami. Kami tidak
lagi punya teman ataupun bantuan. Kami takuntu kami akan dibunuh begitu
kami kembali. Kami hanya bisa berdoa agar Tuhan (Yesus tentunya,
bukan yang lain-Red) membebaskan kami dari neraka ini.”

Setelah pembunuhan Uskup Besar Paul Rahho, pemimpin gereja Chaldean
Catholic di Iraq utara, sejumlah Kristen Irak mulai bersembunyi dibawah
tanah, di catacombe seperti nenek moyang mereka di abad 1M.
Ini adalah sentimen, kata Ibu Salam.

“Kepercayaan saya kuat, karena nenek moyang kami adalah orang-orang
yang kuat kepercayaannnya dan penderitaan mereka jauh lebih parah dari
yang kami rasakan sekarang. Kami percaya bahwa penderitaan ini akan
menguatkan kehidupan spiritual kami. Suatu saat saya bertanya:
‘Mengapa Tuhan tidak menyelamatkan saya?’ Tetapi Tuhan (Yesus tentunya,
bukan yang lain-Red) mengirimkan bantuannya melalui orang-orang untuk
enolong kami, dan Aku percaya Ia akan menyelamatkan saya.
Kedatanganmu adalah perwujudannya” (Kata Ibu Salam kepada Suster
Hatune-Red)

Sister Hatune dengan pakaian-pakaian bekas untuk disumbangkan bagi
pengungsi Kristen Irak

Yayasan Suster Hatune memberikan gandum, tepung, gula, dan pakaian
melalui jalur darat, dibantu oleh Indian Chapter, YMCA, dan Jubilee
Campaign di Inggris. Pemerintah Syria juga membantu dengan Damaskus
pusat untuk menyediakan bahan-bahan. Yang penting dari semuanya,
adalah, Uang-Tanpa pekerjaan, dan banyaknya lelaki mereka yang m
eninggal, Para Wanita sering tidak terlindungi dan tercukupi.
Suster Hatune, dengan bantuan dari Yellow Christian di Eropa dan l
ainya, juga menyediakan uang untuk seorang wanita, Ibunya, dan 2 a
diknya untuk dapat hidup dan makan selama 6 bulan, Jadi saudara
mereka yang berumur 18 tahun tidak lagi perlu untuk menjual diri.

“Saat kuberikan uang, Ia berlutut dan berterimakasih untuk para
dermawan yang menyumbang, dan bukan untukku,” Kata Suster Hatune.

Suster Hatune, dengan bantuan sumbangan yayasannya, mampu
melunaskan uang sandera bagi seorang gadis 13 tahun yang diculik dan
diperkosa selama dua minggu sampai gang penculik itu membebaskannya
dengan uang ganti US$9.000/¡ò4,000. .

Keluarga lainnya yang mereka bantu terdiri dari anak umur 16 tahun dan
ayah tirinya yang lumpuh dan Ibunya yang sakit mental. Saudara
laki-lakinya yang berumur 22 tahun menghilang. Militan Islam menculik
gadis itu dan menyekapnya selama 4 bulan dimana ia disiksa. Bersama
tetangga Kristennya, yang diperintahkan untuk murtad atau mati,
akhirnya mereka kabur.

“Empat orang memperkosanya. Saat menceritakan kisahnya, Ia gemetar
dan gugup kemudian pingsan. Aku mencoba untuk menopangnya ditangan.
Tim kami membayar uang sewanya selama 6 bulan.”

Di hari terakhirnya di Istanbul, Suster Hatune dengan sebuah pick-up
tiba di penginapan para pengungsi dan menyalurkan pakaian dan uang.
Di hari yang sama grup bertemu 6 keluarga yang baru tiba di Turki dan
tidur di tanah tanpa selembar alaspun. Suster Hatune memberikan
memberi mereka kasur, pakaian, dan ¡ò80 setiap orang.

Ayah dari satu keluarga telah dibunuh sehingga muslim bisa mengambil
jabatannya di bidang perminyakan, dan Istrinya dipaksa menjual dirinya
untuk memenuhi kebutuhan. Suster Hatune memberikannya ¡ò800 untuk
memenuhi kebutuhan selama 6 bulan.

Bulan depan, Suster Hatune akan ke Yordania, dimana skala penderitaan
pengungsi Kristen disana JAUH LEBIH PARAH daripada di Turki.
Untuk itu Suster Hatune meminta kepada Umat Kristen diseluruh
dunia agar merogoh kantong mereka dalam-dalam untuk membantu mereka.
Seorang janda yang dipaksa menjual dirinya berkata kepadanya
(Suster Hatune): “Para dermawan yang membantu kami adalah
malaikat yang menyelamatkan kami dari neraka.”

Jika berniat untuk membantu, tolong kirimkan cek kepada “Assyrian Aid
Society”, dan kirimkan ke perkumpulan di 36 Crossway, London W13 0AX,
dengan pesan berisikan bahwa sumbangan untuk Suster Hatune.

(Oleh Ed West)

[Non-text portions of this message have been removed]



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.

Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENCEGAHAN

Bagian Kesatu
Peran Pemerintah

Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

BAB VI
PEMUSNAHAN

Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.

Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.

Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang‑orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama‑sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

KETUA PANSUS

DRS. H. BALKAN KAPLALE

WAKIL KETUA

DRA. HJ. CHAIRUNNISA, MA

WAKIL KETUA

AGUNG SASONGKO

WAKIL KETUA

H. SAFRIANSYAH, BA

WAKIL KETUA

DRA. HJ. YOYOH YUSROH

MENTERI AGAMA RI

MUHAMMAD M. BASYUNI

MENKUMHAM

ANDI MATTALATTA

MENKOMINFO

PROF.DR.IR. MOHAMMAD NUH, DEA

MENEG PP

PROF.DR. MEUTIA HATTA SWASONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PORNOGRAFI

I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persenggamaan yang menyimpang” antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 5
Yang dimaksud dengan “mengunduh” (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.

Pasal 6
Larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Yang dimaksud dengan “yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Yang dimaksud dengan “pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembuatan” termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan “penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan.
Frasa “selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)” dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “di tempat dan dengan cara khusus” misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 25
Yang dimaksud dengan “penyidik” adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

FPG

F-PDIP

FPPP

FPD

FPAN

FPKB

FPKS

FBPD

FPBR

FPDS

MENAG

MENKUMHAM

MENKOMINFO

MENEG PP

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

KETUA PANSUS

DRS. H. BALKAN KAPLALE

WAKIL KETUA

DRA. HJ. CHAIRUNNISA, MA

WAKIL KETUA

AGUNG SASONGKO

WAKIL KETUA

H. SAFRIANSYAH, BA

WAKIL KETUA

DRA. HJ. YOYOH YUSROH

MENTERI AGAMA RI

MUHAMMAD M. BASYUNI

MENKUMHAM

ANDI MATTALATTA

MENKOMINFO

PROF.DR.IR. MOHAMMAD NUH, DEA

MENEG PP

PROF.DR. MEUTIA HATTA SWASONO

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …

[Non-text portions of this message have been removed]

[Non-text portions of this message have been removed]



{September 20, 2008}   No One Doesn’t Know T-shirt

Ya! Everyone know, everyone have, and everyone like to wears t-shirt. I always wear t-shirt in almost my time in so much activity. Except in formal situation and condition, I often found my self in t-shirt. It’s so simple, comfortable, flexible, affordable, cute, and so creative, like jeans its ok from rich person till poor person, some of them has funny picture or writing, and the good thing it’s match in with everything in bottom. Ok! Wanna know more about t-shirt?? I can tell you a little thing about it, but just a little ok?? Because I just get a less information bout it. There are too much unknown from t-shirt. I try my best. So, this is my report!!!

A T-shirt (or tee shirt) is a shirt which is pulled on over the head to cover most of a person’s torso. A T-shirt is usually button less, collarless, and pockets less, with a round neck and short sleeves. The sleeves of the T-shirt extend at least slightly over the shoulder but not completely over the elbow (in short-sleeve version). A shirt that is either longer or shorter than this ceases to be a T-shirt T-shirts are typically made of cotton or polyester fibers (or a mix of the two), knitted together in a jersey stitch that gives a T-shirt its distinctive soft texture. T-shirts can be decorated with text and/or pictures, and are sometimes used to advertise (see human billboard). A tag less T-shirt was invented by Charles Bevington which is now used on any article of clothing.

T-shirt fashions include styles for men and women, and for all age groups, including baby, youth, and adult sizes.

HISTORY

The origin of the T-shirt is obscure. The shirt has been a part of clothing since ancient Egypt, consequently, there have been many garments which resemble a T-shirt. A type of cotton T-shirt was developed in England around 1880 as a form of underwear to be worn under men’s shirts. It was originally called a “vest” or “under-vest”. From 1913 to 1948 there was continuous development.

Most research mentions this possibility that the idea of the T-shirt came to the United States during World War I when US soldiers noticed the light cotton undershirts European soldiers were using while the US soldiers were sweating in their wool uniforms. Since they were much more comfortable they quickly became popular among the Americans, and because of their design they got the name T-shirt. Other experts credit the U.S. Navy‘s “light undershirt” from 1913, described with “elastic collaret on the neck opening, called “crew neck”. The Los Angeles Times claimed in 2006 that the Navy shirt as described in 1913’s regulations state that the “light undershirt” was different from what is commonly worn today, with the Navy’s version boasting an “elastic collaret on the neck opening” and other odd features.

On these grounds, there are claims that Howard Jones asked the underwear company “Jockey” in 1932 to develop a sweat absorbing shirt for the USC Trojans football team, which they propose was the “modern T-Shirt”.

The origin of the name is uncertain: it may refer to the shape of the shirt as a “T”, or it may derive from the use by the army as a “training shirt”. The shape-based theory is supported by the existence of an A-shirt in the 1930s, which was the typical undershirt later referred to as a tank top. It is also a possibility that the name “tee” comes from amputee, a reference to the shortened length of the arms.

During World War II the T-shirt had become standard issue underwear in the U.S. Army and the Navy. Although the T-shirt was formally underwear, soldiers often used it without a shirt covering it while doing heavy labor or while stationed in locations with a hot climate, just like their former underwear. As a result, the public was frequently exposed to pictures of members of the armed forces wearing pants and a T-shirt. This became gradually more acceptable, as the cover of the July 13, 1942 issue of Life magazine shows, which features a picture of a soldier wearing a T-shirt with the text “Air Corps Gunnery School”.

After WWII the T-shirt started appearing without a shirt covering it in civilian life. According to the New York Times, the 1948 presidential campaign of New York Governor Thomas E. Dewey produced a “Dew It for Dewey” T-shirt, which was followed in 1952 by “I like Ike” T-shirts in support of Dwight D. Eisenhower. John Wayne, Marlon Brando and James Dean all wore them on national TV. At first the public was shocked, but by 1955 it had become acceptable.

TRENDS

T-shirts were originally worn as undershirts. Now T-shirts are worn frequently as the only piece of clothing on the top half of the body (other than possibly a bra or an undershirt (vest). T-shirts have also become a medium for self-expression and advertising, with any imaginable combination of words, art and even photographs on display.

A T-shirt typically extends to the waist. Variants of the T-shirt, like the tank top, A-shirt (with the nickname “wife beater”), muscle shirt, scoop neck, and the V-neck have been developed. Hip hop fashion calls for “oversized” T-shirts which may extend down to the knees. A more recent trend in women’s clothing involves tight-fitting “cropped” T-shirts that are short enough to reveal the midriff. Another popular trend is wearing a “long-sleeved T-shirt”, and then putting a short sleeved T-shirt of a different color over the long sleeved shirt. This is known as “layering”.

DECORATION

In the early 1950s several companies based in Miami, Florida, started to decorate T-shirts with different resort names and various characters. The first company was Tropics’ Togs, under founder Sam Kantor, in Miami. They were the original licensee for Walt Disney characters that included Mickey Mouse and Davy Crockett. Later other companies expanded into the T-shirt printing business that included Sherry Manufacturing Company also based in Miami. Sherry started in 1948 by its owner and founder Quinton Sadler as a screen print scarf business and evolved into one of the largest screen printed resort and licensed apparel companies in the United States.

In 1959, plastic, a more durable and stretchable ink, was invented, allowing much more variety in T-shirt designs.

In the 1960s, the ringer T-shirt appeared and became a staple fashion for youth and rock-n-rollers. The decade also saw the emergence of tie-dyeing and screen-printing on the basic T-shirt. In the late 1960s Richard Ellman, Robert Tree, Bill Kelly, and Stanley Mouse set up the Monster Company in Mill Valley, California, to produce fine art designs expressly for T-shirts. Monster T-shirts often feature emblems and motifs associated with the Grateful Dead and marijuana culture.

The most common form of commercial T-shirt decoration is screen-printing. In screen-printing, a design is separated into individual colors. Plastic or water based inks are applied to the shirt through mesh screens which limits the areas where ink is deposited. In most commercial T-shirt printing, the specific colors in the design are used. To achieve a wider color spectrum with a limited number of colors, process printing (using only cyan, magenta, yellow and black ink) or simulated process (using only white, black, red, green, blue, and gold ink) is effective. Process printing is best suited for light colored shirts. Simulated process is best suited for dark colored shirts. Very few companies continue to use water-based inks on their shirts. The majority of other companies that create shirts prefer to use plastic due to the ability to print on varying colors without the need for color adjustment at the art level.

Specialty inks trend in and out of fashion and include; shimmer, puff, discharge and chino based inks. A metallic foil can be heat pressed and stamped onto any plastic ink. When combined with shimmer ink, metallic give a mirror like effect wherever the previously screened plastic ink was applied. Specialty inks are more expensive to purchase as well as screen and tend to appear on garments in boutiques.

Other methods of decoration used on T-shirts include airbrush, appliqué, embroidery, impressing or embossing and the ironing on of either flock lettering, heat transfers, or dye-sublimation transfers. Laser printers are capable of printing on plain paper using a special toner containing sublimation dyes which can then be permanently heat-transferred to T-shirts.

In the 1980s, thermo chromatic dyes were used to produce T-shirts that changed color when subjected to heat. This brand of T-shirt, Global Hyperboloid, was a common sight on the streets of the UK for a few years, but has since mostly disappeared. These were very popular in the United States as well in the late 80’s among teens. A downside of color-change garments is that the dyes can easily be damaged, especially by washing in warm water, or dye other clothes during washing.

At the turn of the century, designing custom T-shirts online became more popular. Websites like Zazzle.com and CafePress.com use digital printing to allow customers to design their own T-shirts online with no minimum orders. Brooklyn-based Neighborhood (which creates 10 new in-house designs a day) and Chicago-based Thread less are trendsetters in t-shirt graphic design in the 2000s.

EXPRESSIVE MESSAGES

T-shirts have flourished as a personal expression.

T-shirts with bold slogans were popular in the UK in the 1980s. Since the late 1980s and especially the 1990s, T-shirts with prominent designer-name logos have become popular, especially with teenagers and young adults. These garments allow consumers to flaunt their taste for designer brands in an inexpensive way, in addition to being decorative. Examples of designer T-shirt branding include Calvin Klein, FUBU, Ralph Lauren and The Gap. These examples also include representations of rock bands, among other obscure pop-culture references.

Screen printed T-shirts have been a standard form of product advertising for major consumer products, such as Coca-cola and Mickey Mouse, since the 1970s. However, since the 1990s, it has become common practice for companies of all sizes to produce T-shirts with their corporate logos or messages as part of their overall advertising campaigns.

The early 2000s saw the renewed popularity of T-shirts with slogans and designs with a strong inclination to the humorous and/or ironic. The trend has only increased later in this decade; embraced by celebrities, such as Britney Spears and Paris Hilton, and reflected back on them, too (‘Team Aniston’).

The political and social statements that T-shirts often display have become, since the 2000s, one of the reasons that they have so deeply permeated different levels of culture and society. The statements also may be found to be offensive, shocking or pornographic to some. Many different organizations have caught on to the statement-making trend, including chain and independent stores, websites, and schools.

A popular phrase on the front of T-shirts demonstrating T-shirts popularity among tourists is the humorous phrase “I did _____ and all I got was this lousy T-shirt.” Examples include “I went to Las Vegas and all I got was this lousy T-shirt.” and “My parents went to San Francisco and all I got was this lousy T-shirt.”

T-shirt exchange is an activity where people trade their T-shirts they are wearing. Some designs specifically write on the shirt “trade with me”

MISSING INFO

I’m really sorry because of the missing data. I’m sorry I can’t find the specific info, I mean the growth of t-shirt in Indonesia and their background. I have trouble with tat. It’s still less known. Sorry.

References

http://en.wikipedia.org/wiki/T-shirt

http://www.bbc.co.uk/cbbc/art/howto/tshirts/history.shtml

http://www.liberatorcrew.com/15_Gunnery/Photos/LifeCover_T.jpg (retrieved 200701-21)




et cetera